Senin, 30 Januari 2012

Cinta dalam hati

Sore itu berjuta tetes air dari langit mulai turun membasahi dedaunan yang tumbuh dan tertata rapi di belakang rumah Sarah dan menyuarakan percikan air di kolam ikan miliknya. Tampak seorang gadis sedang duduk melamun menikmati saat hujan itu, seakan terpaku mengenang masa yang telah lalu.
“Heh, melamun saja? Ini minumnya,” suara Sarah membuyarkan lamunan Fuchi.
“Ehm, terima kasih minumnya.”
“Ngelamunin apaan sih kamu? Serius sekali,” tanya Sarah penasaran.
“Saat hujan begini aku jadi ingat sama…” jawaban Fuchi terputus oleh Sarah.
“Ooh, iya iya aku mengerti. Pasti kamu ingat dengan Alan kan!” tebak Sarah.
“Hm, iya. Kok kamu tahu?”
“Ya, jelas tahu lah. Waktu itu dia pergi saat hujan seperti ini. Dan kamu bela-belain naik sepeda dari rumahmu ke terminal hanya demi melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Karena kamu tahu dia akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Bahkan sudah setahun pun dia pergi kamu masih saja mengingat-ingat dia, dan kamu yakin kalau dia akan kembali lagi ke sini. Padahal kenyataannya, mana, sampai saat ini pun dia tidak kembali. Iya kan!” jelas Sarah.
“Wah, kamu hebat. Aku tidak menyangka kamu masih ingat apa yang pernah aku ceritakan tentang Alan ke kamu. Eh, tapi, siapa bilang kalau Alan tidak akan kembali?! Aku yakin dia pasti ke sini. Yah, mungkin belum waktunya saja,” kata Fuchi sambil tersenyum menutupi kesedihannya.
“Aduh, sudah lah Chi. Kamu tidak perlu meyakinkan diri kamu seperti itu. Aku hanya tidak mau kamu kecewa nantinya,” kata Sarah mengungkapkan rasa simpatinya.
“Iya, terima kasih sudah mau peduli sama aku. Tapi, pokoknya aku akan tetap menunggu dia, titik!” tegas Fuchi.
“Tapi Chi, kan kamu sendiri yang pernah bilang, kalau selama dia jadi tetanggamu dulu, tidak pernah sedikit pun dia menyapa kamu atau mengajak bicara walau hanya sekedar basa-basi. Tidak pernah kan? Kamu juga bilang kalau dia angkuh dan sombong. Kenapa kamu bisa seyakin itu?” kata Sarah dengan perlahan.
“Kamu tidak tahu Sarah. Aku merasakan sesuatu yang beda dari cara dia melihat aku dan tingkah laku dia sama aku, saat dia tahu kalau aku ngelihatin dari jauh, dia seperti cari perhatian gitu sama aku,” ungkap Fuchi dengan sedih mengingat Alan.
“Ya sudah dong, kamu jangan sedih terus. Begini Chi, aku itu cuma nggak mau kamu terus memikirkan dia, kamu cuma buang-buang waktu untuk memikirkan hal yang nggak pasti gini.”
“Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan terlalu larut memikirkan dia kok,” kata Fuchi sambil menghapus air matanya dan mulai mengembangkan senyum di pipinya.
Sarah menganggukkan kepala, mengiyakan kata-kata Fuchi sambil tersenyum. Mereka lalu berpelukan, di tengah suara gemericik air hujan sore itu.
Dalam hati Fuchi, sebenarnya dia takut kalau ternyata Alan tidak akan pernah kembali. Tapi, entah kenapa feelling Fuchi tentang Alan sangat kuat.
Sarah pernah mencoba untuk mencarikan seseorang yang bisa menggantikan posisi Alan di hati Fuchi, supaya Fuchi tidak terus-terusan sedih memikirkan Alan. Namun, rencana Sarah tidak berhasil, setiap teman Sarah yang dikenalkannya pada Fuchi selalu di tanggapi dengan dingin oleh Fuchi. Jadi, tidak ada seorang pun yang berani mendekati Fuchi.
“Rah, kenapa sih kamu banyak ngenalin teman-teman kamu ke aku, cowok semua lagi,” tanya Fuchi dengan penasaran di sela-sela pelajaran Ekonomi waktu itu.
“Ehm… tidak apa-apa sih. Yah, supaya kamu tidak bete saja memikirkan si Alan yang tidak jelas itu,” jawab Sarah sedikit berbisik.
“Siapa juga yang bete, biasa aja kali. Sudah lah, usaha kamu tidak akan mempan. Hati aku cuma terbuka buat Alan seorang,” jawab Fuchi dengan tersenyum.
“Ih, kamu kok seperti itu. Nanti kalau sampai tua kamu tidak ketemu sama dia, jadi perawan tua baru tahu rasa.”
“Bodo’,” jawab Fuchi enteng.
“Iih, bodo-bodo. Aku sumpahin jadi perawan tua beneran kamu! Biar sampai ubanan kamu nggak dapat jodoh sekalian. Hiii.. pasti lucu,” ucap Sarah sambil tertawa kecil.
“Yeee… kamu kali yang jadi perawan tua. Buktinya, sampai sekarang pun kamu juga belum punya pacar. Pasti sampai muka kamu keriput pun belum punya pacar juga. Hiiii,” ejek Fuchi.
“Enak saja kamu.”
“Ssst…” Terdengar suara itu dari salah seorang siswa yang merasa terganggu dengan pembicaraan Fuchi dan Sarah. Membuat Sarah dan Fuchi menghentikan pembicaraan mereka. Dan ruang kelas pun kembali hening.
Suatu hari sempat terbesit di benak Fuchi, kenapa dia begitu yakin kalau Alan akan kembali. Padahal dia tahu tidak ada alasan untuk Alan kembali ke Jogja tempat tinggal Fuchi. Di Jogja Alan tidak punya sanak saudara, dia hanya nge-kost di dekat rumah Fuchi, di Jogja dia hanya untuk bekerja. Dia bekerja di counter dekat rumah Fuchi.
Oleh karena itu, setiap hari Fuchi selalu bisa bertemu dengan Alan. Dia terbiasa melihat tingkah laku Alan yang lucu walaupun sedikit sombong. Tetapi, sekarang sosok itu sudah tidak hadir di setiap hari-harinya. Dia meyakini sesuatu dalam diri Alan, dia melihat ada sesuatu yang terpendam dalam diri Alan, dia juga melihat ada cinta di hati Alan yang masih tertutup oleh api keangkuhan dan kesombongannya. Yah, dia berharap suatu hari bisa bertemu dengan Alan dan bisa mengungkapkan perasaanya dengan Alan.
Namun, dari hari ke hari, bulan ke bulan, lama-lama Fuchi lelah menunggu seseorang yang tidak pasti, dia ingin berusaha melupakan Alan. Namun, selalu saja hati kecilnya berkata kalau suatu hari nanti Alan pasti datang. Dia bingung, antara kata hatinya atau kata-kata Sarah. Dalam hatinya dia berkata,
Mungkin benar kata Sarah, kalau Alan tidak akan pernah ke sini. Mungkin juga dia malah sudah lupa sama aku. Aku hanya buang-buang waktu saja, selama setahun ini aku hanya menunggu orang yang tidak pasti, toh dia juga belum tentu memikirkan aku. Huh, kenapa aku aneh sih, lebih baik aku tidak usah berharap dia akan ke sini.
Mungkin mulai saat ini aku harus berhenti berharap, belum tentu juga dia memikirkan aku seperti aku memikirkan dia, pikir Fuchi melepaskan harapannya bertemu dengan Alan.
Beberapa hari setelah dia mengatakan melepaskan semua harapannya untuk bertemu Alan tak disangka tak dinyana, ketika dia pulang sekolah dan melewati depan counter bekas tempat kerja Alan, dia melihat sosok seperti Alan ada di sana.
“Ya ampun. Apa aku salah lihat ya. Kok, di counter tadi seperti ada Alan? Ah, tapi mana mungkin,” gumam Fuchi dan seketika menghentikan sepedanya.
”Masa aku harus ke sana lagi untuk memastikan kalau itu Alan atau bukan! Ah, nanti sore saja aku kembali ke sana,” pikir Fuchi.
Sore harinya Fuchi pura-pura lewat depan counter untuk memastikan sosok itu Alan atau bukan. Dia lalu mengeluarkan sepeda dari garasi rumahnya. Ketika dia belum beberapa jauh menaiki sepedanya, dari jauh dia melihat ada seorang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Seseorang itu mirip sekali dengan Alan. Setelah mendekat dan semakin mendekat, ternyata orang itu memang Alan. Ketika berpapasan, Fuchi sedikit tersenyum ragu karena takut tidak dibalas oleh Alan, tetapi Alan malah tersenyum sangat ramah sekali. Bahkan menurut Fuchi, itu adalah senyum terindah yang pernah diberikan oleh Alan kepada Fuchi.
Betapa senangnya hati Fuchi saat itu, harapannya tercapai, doanya terkabul dan penantiannya selama setahun lebih tidak sia-sia. Apalagi Alan mau tersenyum kepada Fuchi.
Kejadian itu lalu diceritakan kepada Sarah waktu di sekolah. Fuchi ingin sekali membuktikan bahwa penantiannya selama ini tidak sia-sia.
“Pagi Sarah!” teriak Fuchi menyapa Sarah ketika memasuki kelasnya.
“Pa…pagi,” jawab Sarah dengan terbata karena heran melihat tingkah laku Fuchi yang tidak seperti biasanya.
“Kamu tidak apa-apa kan! Kesambet setan apa kamu, tidak biasanya aku lihat kamu ceria dan senyum-senyum tidak jelas begini,” tanya Sarah penasaran sambil menempelkan punggung tangannya ke pipi dan kening Fuchi.
“Ih, apaan sih kamu. Aku sehat-sehat aja kali. Eh, tahu tidak! coba tebak kemarin aku habis ketemu sama siapa?”
“Memangnya kamu habis ketemu sama siapa? Kelihatannya senang sekali,” tanya Sarah penasaran.
“Kemarin aku ketemu sama Alan.”
“Hah…Alan?! Ah, kamu pasti bercanda kan!” kata Sarah ragu.
“Aku benar-benar ketemu sama dia. Dia ada kost-kostannya dulu. Bahkan, dia mau senyum sama aku. Aku seneng banget.”
“Wah, bagus dong. Ternyata aku salah, aku kira dia tidak akan kembali ke sini. Ini kesempatan kamu buat PDKT sama dia.”
“Iya, ini kesempatan aku buat PDKT sama dia. Dan aku tidak mau buang-buang waktu, mungkin saja dia di sini cuma sebentar.”
“Iya, jangan sampai kamu kehilangan dia lagi. Pokoknya aku akan dukung kamu, kalau kamu butuh saran beritahu aku, aku pasti akan bantu. Lagi pula dia sudah mau senyum sama kamu, itu awal yang baik, tinggal kamu sering menyapa dia dan sering ajak ngobrol. Oke?” kata Sarah yang ikut senang dan mendukung usaha Fuchi untuk PDKT sama Alan.
“Oke,” jawab Fuchi seakan siap untuk bertempur.
Hari demi hari Fuchi semakin sering berbicara dengan Alan, mareka jadi semakin dekat dan akrab. Fuchi tidak melihat sosok yang angkuh dan sombong dari Alan. Malah dia melihat sosok yang ramah, lucu dan baik.
Ternyata Alan di Jogja hanya seminggu, katanya ada urusan yang belum diselesaikannya.
“Memangnya ada urusan apa Lan? Sepertinya penting sekali. Yah, kalau aku boleh tahu,” tanya Fuchi penasaran saat jalan kaki sepulang sekolah yang tanpa sengaja bertemu dengan Alan.
“Yah, ada lah pokoknya. Mungkin nanti kamu juga tahu,” jawab Alan yang masih membuat Fuchi penasaran.
“Ooh.. Eh, iya. Kamu pulangnya kapan?
“Mungkin dua hari lagi. Kenapa? Takut ya, kalau aku pergi?”
“Ih, apaan sih,” kata Fuchi dengan pipi yang memerah tersipu malu.
“Oh, iya. Sebelum aku pulang, mau nggak kita main ke taman kota?” ajak Alan, yang tak pernah terduga sebelumnya oleh Fuchi.
“Hah… Ke taman berdua sama kamu?” kata Fuchi tercengang.
“Iya, berdua. Kenapa memangnya? Tidak mau ya!”
“Ehm, tidak. Aku mau. Eh, tapi lihat nanti ya!” jawab Fuchi dengan terbata dan sedikit malu.
“Oke.”
Fuchi senang sekali saat itu, dia tidak pernah mengira kalau Alan mau mengajaknya pergi berdua. Mendengar hal itu, Sarah menduga kalau Alan ingin menungkapkan cintanya kepada Fuchi, tetapi Fuchi tak yakin. Mana mungkin dalam waktu kurang dari seminggu Alan langsung suka sama aku, pikir Fuchi.
Sore itu hujan rintik-rintik, namun tak menyurutkan niat Fuchi untuk bertemu dengan Alan di taman kota yang telah dijanjikan oleh Alan.
“Chi, hujan itu. Kamu masih mau pergi juga?” tanya Sarah waktu menemani Fuchi di kamar memilih pakaian yang bagus utnuk pertemuan nanti.
“Ya jadi lah. Masa cuma gara-gara hujan tidak jadi pergi. Kan kasihan Alan sudah menunggu,” jawab Fuchi sambil menyisir rambutnya.
“Alah, aku tahu kamu pasti berharap dia mau katakan cinta untuk kamu. Iya kan!”
“Ya nggak lah. Dia mau katakan cinta atau tidak, tidak jadi masalah buat aku. Kalau pun dia tidak suka sama aku, ya tidak apa-apa, yang penting untuk saat ini sudah bisa jadi temannya saja aku sudah seneng banget.”
“Ooh, gitu!
“Ya sudah. Temani aku yuk!” ajak Fuchi.
“Hah…aku ikut?! Ah, malas ah. Masa nanti aku cuma lihat kalian pacaran!”
“Ya ampun siapa juga yang mau pacaran. Nanti kamu nemenin aku sampai Alan datang, habis itu terserah kamu mau pulang atau kemana.”
“Kenapa tidak sama dia saja?”
“Katanya dia mau nunggu di sana. Yah, ikut ya?” pinta Fuchi
“Ya sudah lah.”
Mereka berdua lalu pergi ke taman itu. Setelah sampai di sana, mereka duduk di bangku dekat pohon besar. Kata Alan, dia akan menunggu Fuchi di tempat itu.
“Mana Alan? Katanya menunggu di sini,” tanya Sarah tidak sabar.
“Mungkin masih di jalan. Sabar saja!”
“Nah, itu dia,” seru Sarah sambil menunjuk ke jalan raya.
“Iya. Wah, dia bawa apaan itu?”
‘Ehm, dia bawa boneka itu buat kamu. Cie…Ya sudah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang,” kata Sarah sambil melangkah pergi.
“Ih, apaan sih. Ya sudah sana, hati-hati.”
Dari jauh Alan melambaikan tangan ke arah Fuchi, Fuchi pun membalasnya. Dengan perlahan Alan mencoba menyeberangi jalan yang ramai dan licin karena terguyur hujan.
Tetapi, tiba-tiba ada sebuah truk yang melaju kencang ke arah Alan. Dari jauh Fuchi melihat truk itu, dan dia lalu berteriak,
“Alan awas!” teriak Fuchi.
Namun belum sempat Alan menghindar, truk itu telah menabrak tubuh Alan
“Bruuk… Ciiiit…..! ” Suara rem truk itu mencoba untuk berhenti. Sontak Fuchi pun terkejut lalu berlari menuju jalan raya itu. Sarah pun yang belum jauh dari taman langsung ikut berlari menghampiri Alan.
“Alan…Alan kenapa bisa begini Lan? Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu tahan ya, aku panggil ambulan dulu,” kata Fuchi dengan berlinang air mata.
“Tidak perlu, Chi. Aku hanya ingin kamu tahu sesuatu yang selama ini terpendam dalam hati aku,” kata Alan sambil menahan sakit.
“Sudah Alan, kamu tidak usah banyak bicara. Kita ke rumah sakit sekarang.” Fuchi menangis dengan tangan menahan darah yang keluar dari kepala Alan.
“Aku cuma mau bilang kalau aku cinta sama kamu. Aku suka sama kamu sejak aku pertama ketemu kamu. Tapi, aku membohongi perasanku sendiri. Dan aku baru sadar setelah setahun aku pergi, aku kangen sama kamu. Dan aku belain kesini cuma ingin katakan itu. Mungkin aku hanya diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku dan aku tidak punya kesempatan untuk memiliki kamu. Mungkin ini saat terakhir aku,” ungkap Alan dengan terbata menahan sakit.
“Tidak Alan. Kamu tidak boleh pergi, kita ke rumah sakit sekarang.”
“Sekarang kamu jawab, apa kamu juga cinta sama aku? Jawab sebelum aku benar-benar pergi.”
“Kamu tahu Alan? Aku juga cinta sama kamu. Selama setahun ini aku menunggu kamu, menunggu tanpa kepastian, aku berharap kamu kembali. Ternyata kamu memang kembali, dan kamu juga mencintai aku. Tapi kenapa sekarang kamu mau ninggalin aku lagi. Kamu tidak boleh pergi, kamu harus bisa bertahan Alan.”
“Tidak bisa, aku sudah tidak kuat lagi. Malaikat itu sudah ada di depanku. Maafkan aku, aku harus pergi. Tapi, aku pergi dengan meninggalkan cintaku untuk kamu. Dan ini, kamu simpan boneka ini ya, walaupun berlumur darah. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Selamat tinggal Fuchi,” kata Alan untuk terakhir kalinya sambil memberikan boneka kepada Fuchi.
“Tidak … Alan… Jangan pergi Alan… Alan…,” teriak Fuchi di tengah-tengah keramaian jalan dan gemericik hujan.
Takdir berkata lain, Alan pun telah pergi meninggalkan Fuchi dengan cinta yang telah diungkapkannya. Tapi cinta Alan terlambat untuk disadari hingga dia meninggalkan cinta dengan hanya sebatas kata-kata bukan suatu pengorbanan atau kasih sayang. Cinta memang ditakdirkan untuk sulit disadari. Bahkan untuk menyadari itu cinta atau bukan, harus dengan perginya seseorang itu, baru terasa betapa rindunya dengan orang yang ternyata kita cintai.
Bagi Fuchi mencintai seseorang tak butuh logika, yang dia butuhkan hanyalah feeling dan hatinya, karena dari situlah yang benar-benar tulus.

Valentine terakhir

Wajahku memang tidaklah cantik, dan kulitku juga tak berwarna cerah. Jadi jangan kamu bayangkan aku seperti seorang Luna Maya atau Asmirandah, karena aku jauh dari mereka. Aku hanya seorang gadis kurus yang jerawatan, dengan kaca mata tebal yang melekat di hidungku, yang orang bilang pesek.
Tapi setidaknya aku punya hati yang tulus, hati yang rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Untuk kebahagiaanmu terutama, Farel Valentino.
Mungkin aku tak pernah pantas menyukai kamu. Kamu terlalu tampan dan sempurna untuk seorang gadis seperti aku. Tapi ijinkanlah aku melanjutkan persahabatan yang telah kita bina sejak kita masih bersama-sama bermain di halaman belakang rumah kita.
Ingatkah kau saat mengatakan, kelak ingin jadi pacarku, Rel? Hhhh… tak apa aku bisa menerima ingkarmu kok, sebab aku tak tumbuh menjadi seorang gadis secantik bidadari impianmu. Tapi Rel, perasaanku tetaplah sama, dan tak pernah berubah. Aku mencintai kamu, dan selamanya akan terus begitu. Sayangnya, kamu harus tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan mempesona, sehingga aku harus rela kehilangan sosokmu yang begitu erat hadir dalam mimpi dan hidupku.
Kutarik nafasku panjang, saat kembali kulihat dari jendela kamarku. Kamu keluar dari mobil seraya memeluk pinggang seorang gadis cantik, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Entah gadis yang ke berapa, aku tak ingat, yang jelas sudah begitu banyak gadis cantik yang singgah di hidupmu.
Hhhh… Kadang aku berharap, kamu tak pernah berubah, Rel, tetap seperti dulu, dengan pipimu yang chubby, dan bisul-bisul kecil menghiasi hidung dan dahimu, agar aku bisa terus bersamamu, menemani hari-harimu selamanya. Agar kau tak pernah berubah menjadi sosok angkuh pemuja penampilan dan playboy kelas kakap seperti ini!
Teringat saat aku datang ke rumahmu setelah selama tiga tahun kamu menuntut ilmu di kota lain. Kamu tahu Rel? Saat pertamaku kembali melihat kedatanganmu saat itu? Aku sangat bahagia, teramat sangat bahagia bahkan…. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah menolak mengenalku. Kamu bilang, tak pernah mengenal wanita yang begitu jelek seperti aku. Ya Tuhan, hanya itukah artinya persahabatan kita selama ini? Hanya sebatas wajah dan penampilankah? Kamu bahkan mengatakan dengan sedikit tawa di wajahmu, kalau aku harus mengoperasi wajahku bila ingin berteman lagi denganmu. Kamu keterlaluan sekali, Rel! Apa sih yang membuat kamu bisa berubah seperti ini? Ke mana sosokmu yang rendah hati dan ramah itu?
Aku kembali menitikkan airmataku mengenang kepahitan itu. Kepahitan yang hanya bisa kutelan dan kusimpan selamanya dalam hati.
Tak selang berapa lama, kulihat kembali dari jendela kamarku, beberapa orang pemuda berlari lalu mendobrak pintu rumahmu. Aku terkejut dan tubuhku bergetar tak karuan. Aku segera beranjak keluar, namun sepertinya aku terlambat, beberapa pemuda telah lari keluar dari rumahmu , bersama gadis cantik yang tadi ada bersamamu. Aku segera
berlari masuk ke dalam rumahmu yang tak tertutup itu. Dan kutemukan di sana…
Kamu berkelojotan sambil menutupi wajahmu, raunganmu menyayat-nyayat hatiku. Dan aku pun segera berlari mendekatimu. Ya Tuhan, tangan dan wajahmu melepuh, banyak gelembung-gelembung yang pecah dan mengelupas! Ada apa ini?!? Kamu kenapa??? Air keraskah?!? Aku panik, lalu segera saja kularikan kamu ke rumah sakit, dengan naik taxi yang kupanggil dari tepi jalanan.
Kamu tahu, Rel, apa yang aku rasakan saat melihatmu seperti itu?!? Hancur!!! Dunia seolah runtuh di atas kepalaku, andai saja aku ada bersamamu saat kejadian tadi, aku akan melindungimu, dan biarlah air keras itu, mengenai wajahku yang memang sudah tak indah ini, bukan mengenai wajahmu yang tercipta begitu sempurna?!?
***
Beberapa bulan kemudian, tepat di hari Valentine yang juga menjadi hari ulang tahunmu, aku sengaja datang ke rumahmu, kubawakan bingkisan manis berisi coklat kesukaanmu, yang kubuat spesial dengan kedua tanganku.
“Rel,” panggilku saat kulihat kamu termenung di teras halaman belakang rumahmu.
“Happy Valentine and Happy Birthday, Rel,” kataku sampil menyentuh bahumu, namun tak ada reaksi.
Ya Tuhan, kamu telah pergi, pergi selamanya dan tak akan pernah lagi kembali.
Aku pun berteriak histeris sambil kupeluk tubuhmu erat, hingga kepalamu bersandar di bahuku. Sebuah kepala yang tak dihiasi lagi sebuah wajah yang sempurna.
Aku terus menangis dan menangis. Aku tak pernah menyangka kamu akan berbuat senekad itu? Padahal sudah berulang kali aku katakan, aku akan selalu di sisimu, aku akan selalu menemanimu, dengan atau tanpa wajah sekalipun! Semua itu aku lakukan karena aku terlalu mencintaimu. Ya, aku terlalu mencintai kamu, Rel. Kenapa kamu melakukan ini?!? Apakah aku begitu tak kau inginkan? Sampai kau lebih memilih untuk mati?!?
Lalu kutemukan selembar kertas kusut yang ada di dalam genggaman tanganmu yang penuh dengan darah yang sudah nyaris mengering. Akupun mengambil dan membacanya.
Maafkan aku, Ka, aku terpaksa melakukan ini, karena aku tak kan pernah mau jadi milikmu. Kamu tahu kenapa? Karena dokter di mana pun, tak mampu mengembalikan wajahku, jadi aku sudah tak mungkin lagi jadi Farel yang dulu kau puja, sekarang aku hanyalah seorang pemuda tak berwajah, yang selamanya akan membuatmu menyesal karena telah mencintai aku.
Ka, aku tahu kau tak cantik, tapi kau jauh lebih sempurna daripada aku, dan kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih dari aku, selamat tinggal, Ika.
Aku lupa, kalau begitu besar arti sebuah wajah untukmu, hingga kau melupakan yang lebih penting dari itu, hati…..
***
Farel mengangguk mendengar ceritaku, tentang bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat ini. Tempat di mana semua nampak putih dan berkilau. Lalu dia memelukku erat.
“Sekarang aku tahu dan percaya, bahwa hati yang tulus bisa mengalahkan segalanya. Thanks, Ka, kamu sudah bersedia menyusulku kemari untuk menemaniku selamanya, dan maafin aku, karena telah menyakiti hati kamu,” ungkapnya sambil mengembangkan senyum indahnya. Indah menurutku…
Happy Valentine Day, Rel,” balasku.

Masih adakah pelangi untukku

Aku hanyalah seorang wanita yang rapuh dan berusaha tegar. Tapi apa daya bagaimanapun aku hanyalah wanita yang butuh kasih sayang, dan bukan untuk disakiti. Dari awal memang aku yang salah. Aku menikahi seseorang karena rasa kasihan. Aku benar benar menyesal. Tak ada kebahagiaan yang aku dapatkan, hanya tangis dan rasa sakit.
“Kamu cinta sama aku gak?” tanya Joan, suamiku.
“Gak sama sekali, aku cuma kasihan sama kamu,” seruku. Hatiku kacau, aku lelah.
“Kamu tahu tidak, aku tidak betah satu rumah dengan orang yang tidak punya hati seperti kamu, aku menyesal menikah sama kamu.”
“Aku capek, aku berusaha membuat kamu bahagia tapi apa? Kamu tidak pernah bisa mengerti aku,” tangisku meledak, aku tidak tahu lagi seberapa sering air mataku jatuh.
“Kalau kamu mau maksa mengajak cerai pun aku tidak akan menceraikan kamu,” suara angkuh suamiku.
“Kamu mau lihat aku kembali seperti dulu lagi?” ancam suamiku.
Dasar orang tidak pernah mau kalah. Aku pun diam, dia memang selalu mengunakan ancaman itu saat kita cekcok seperti ini. Dia selalu memanfaatkan rasa tidak tegaku.
Aku pun berlalu dengan hati yang remuk. Mungkin tak berbentuk lagi. Aku lelah dan aku pun terlelap dengan air mata menetes di pipiku.
* * * *
“Kamu gak boleh kemana mana!” seru Joan tak suka.
“Kenapa aku selalu tidak diberi waktu untuk melakukan aktivitas di kampus?” tanyaku lembut. Aku tahu jika aku ngotot juga pasti ujung-ujungnya ribut. Tapi bicara dengan satu orang ini, sehalus apapun pasti jadinya bertengkar.
“I just need a reason. Orang yang melarang pasti ada alasannya kan? Apa ada alasan?”
“TIDAK SUKA.”
“Aku capek bicara sama orang seperti kamu.”
Aku berlalu. Dia hanya diam menatapku. Aku terduduk dan mendekap lututku. Ya Rob, apakah hari-hariku akan penuh dengan air mata? Hambamu ini tak kuasa menahan kesabaran. Hati ini terlalu sakit sampai mati rasa. Air mata ku membasahi pipiku. Sepuang dari kampus aku mampir kerumah mamaku. Aku langsung memeluk erat tubuh mamaku.
“Ma, Dina gak sanggup lagi, Dina capek sama kelakuan Joan,” kataku terbata. Mama mengelus rambutku .
“Sayang, kamu tahu kan seorang istri harus patuh sama suami, tapi kalau kamu sudah menjalankan kewajibanmu dan suamimu tidak bisa menghargai kamu, kamu sebagai istri kalau suami ada salah juga harus diingatkan. Kamu berhak marah ke suamimu, tapi jangan pernah mengucapkan kata kasar untuk melawah kata.kata kasar dia.”
“Ma, tapi apakah dia tidak pernah memikirkan perasaan Dina? Dulu waktu Dina diterima sebagai dosen dia gak setuju, tapi Dina menagih janji dia. Permintaan Dina sebagai syarat saat pertama kita memutuskan untuk menikah asal dina tetap diijinkan mengajar, tapi apa?? Dia tidak konsisten dengan ucapannya. Dina capek harus ngertiin dia, semua yang dia inginkan sudah Dina penuhin. Dari Dina yang gak pernah boleh keluar saat ada acara kampus, menolak tawaran beasiswa S2 Dina, apa semua itu gak cukup muasin dia? Kalau memang benar Dina adalah tulang rusuk dia, gak mungkin dia tega menyakiti Dina.”
Aku tidak dapat menahan emosiku lagi, tangisku meledak. Mama memeluk aku erat tak ada sepatah kata pun yang bisa Mama katakan. Mama hanya memeluk erat tubuhku. Aku selalu nyaman di peluknya.
“Kadang Allah mengirim seseorang yang salah sebelum memberikan belahan jiwa kamu. Dia menguji seberapa tegarnya kamu menjalani cobaan dariNYA sehingga kamu bisa dianggap pantas untuk mendapatkan kebahagiaan,” suara lembut Mama.
* * * *
Aku masih termenung menatap air hujan yang jatuh rintik-rintik. Aku begitu suka dengan hujan. Aku tak tahu apa karena saat hujan aku bisa menangis sepuasnya serentak dengan air yang dikirim oleh Allah ke bumi.
Hujan mulai reda, sang mentari mulai mengusir awan mendung. Dan aku terkesima saat sebuah lengkungan berwarna warni melengkung di langit. Setelah hujan reda akan datang sang mentari kemudian mentari akan membiaskan sisa hujan dan terpantul menjadi pelangi seketika. Aku terpekur, aku bimbang, dan aku bertanya, “ Masih adakah pelangi untukku?”
Aku berharap masih ada kebahagiaan untukku. Tapi mungkin bukan dengan orang itu.
* * * *
Hujan masih setia mengguyur kotaku. Aku terduduk di pojok kamarku, menatap setiap tetesnya. Suamiku masuk, aku menghapus air mata yang mengenang di sudut mataku. Wajahnya sudah sangat kusut, entah karena apa.
“Buatin aku mie,” serunya.
Aku beranjak dari tempat dudukku, menuju ke dapur. Mie sudah terhidang di depan dia. Dahinya berkerut.
“Kenapa masak mie sampai matang begini?”
“Hah, yang namanya mie memang begitu kan yah?” jawabku.
“Tapi ini terlalu matang, aku tidak mau makan,” seru suamiku.
Aku pun membuatkannya lagi tapi apa kata dia?
“Masak mie aja tidak becus,” seraya meninggalkan aku. Aku terpaku menahan tangis yang sudah siap jatuh. Dan aku semakin terpuruk dalam kesedihanku.
* * * *
Riak air danau bergerak gerak senada dengan angin yang berhembus lembut, mengusik daun-daun Akasia, menyapu lembut wajahku dan memainkan rambutku. Aku duduk sendiri di tepian danau menanti datangnya pelangi. Karena hujan baru saja reda dari tengah danau muncul lengkungan berwarna-warni yang sedari tadi aku tunggu. Aku begitu menikmatinya seraya ku berucap, “Tuhan, beri satu pelangi untukku,” karena aku percaya selalu ada pelangi setelah hujan badai.

Andai aku bisa sepertimu

Kamu memang perempuan yang sempurna. Cantik, anggun, pintar, keibuan, populer, kaya, dan mapan. Kamu juga pintar merawat keluarga. Sungguh, kamu benar-benar perempuan sempurna. Semua kelebihanmu itu membuat aku merasa amat cemburu dan tak berharga di hadapanmu. Andai aku bisa sepertimu?
Akhir-akhir ini aku memang sering mengamatimu, diam-diam dan dari kejauhan. Aku ingin tahu, apa kiatmu sehingga Mas Han tunduk padamu. Sangat mencintaimu dan tak mampu meninggalkanmu. Aku ingin belajar darimu, bagaimana merawat Mas Han dan anak-anaknya. Karena suatu saat nanti, jika aku berhasil menggantikan posisimu, aku akan berlaku seperti kamu!
Sudah hampir dua tahun ini aku menjalin hubungan gelap dengan mas Han. Perkenalanku dengan laki-laki itu berawal di sebuah klub malam. Mas Han duduk sendirian di meja sudut. Kulihat wajahnya tampak muram dan tak bersemangat. Aku lalu menghampirinya. Dia tak menampik kehadiranku. Kami ngobrol. Lama. Tentang apa saja. Selanjutnya kami menjadi akrab. Kami menemukan chemistry!
Malam-malam berikutnya, aku jadi sering bertemu dengan Mas Han. Kami hanya minum-minum dan ngobrol. Aku merelakan diriku menjadi keranjang sampah. Mas Han butuh tempat untuk mencurahkan isi hati. Dia amat kesepian. Tak ada teman bicara. Dia memang sudah beristri, tapi istrinya terlalu sibuk di kantor. Anak-anaknya juga masih kecil.
Untuk melarikan kepenatan dia lalu pergi ke klub malam. Mencari hiburan, sekaligus teman. Mas Han punya banyak masalah di kantor. Sering ditekan atasan, tugas menumpuk, hasil kerja tidak sesuai target, ditambah intrik dan persaingan tidak sehat diantara sesama rekan kerja. Mas Han tidak punya teman yang bisa dipercaya. Mau bicara pada istri, khawatir nanti malah menambah beban. Lia, istrinya, sudah cukup repot mengurus rumah tangga dan pekerjaannya sendiri.
Akhirnya, larilah dia ke sini. Ke dalam pelukanku. Entah, kenapa dia merasa enjoy bersamaku. Dia mengakui kalau aku enak diajak bicara, tidak bawel, tidak nyinyir, mau mendengar, peduli, dan perhatian. Aku jadi tersenyum malu. Aku tak menganggap pujiannya gombal, karena aku tahu dia orang jujur –pertama kenalan dia terus terang mengaku sudah beristri dan punya dua anak yang manis-manis—, aku hanya merasa aneh saja. Baru kali ini ada orang memujiku. Padahal selama ini lebih banyak orang mencemoohku, bahkan menganggapku najis!
Sejak lahir hingga tumbuh dewasa sekarang, hidupku jauh dari belaian kasih sayang orang tua. Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih berumur satu tahun. Konon, suami ibuku meragukan keabsahanku sebagai anak biologisnya. Aku dianggap anak hasil perselingkuhan. Malu oleh peristiwa itu, Ibu lalu lari ke luar negeri. Menjadi TKW di negeri jiran. Aku dititipkan pada nenek di desa. Nenek amat mengasihi dan memanjakanku. Tapi sayang, nenek tak bisa terlalu lama mendampingiku. Saat usiaku lima tahun, nenek dipanggil Tuhan.
Aku lalu diambil oleh Bibi, kerabat jauh Ibu. Aku dibawa ke kota dan tinggal bersama keluarganya. Suami Bibi seorang pedagang dan jarang berada di rumah. Sejak pagi buta dia berangkat ke pasar yang berada di luar kota, pulang ke rumah saat matahari sudah tenggelam, bahkan terkadang hingga larut malam. Anak Bibi berjumlah tiga, semuanya perempuan. Mereka sudah besar-besar. Watak mereka persis Bibi. Keras, judes, cerewet, malas, dan suka main perintah.
Bibi memperlakukan aku seperti pembantu. Meski aku disekolahkan, diberi makan, dan pakaian, tetapi aku juga harus bekerja. Sebelum berangkat ke sekolah, aku mesti bersih-bersih rumah dulu. Menyapu, mengepel, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Bila lalai atau berbuat kesalahan sedikit saja, Bibi langsung mencak-mencak. Aku diomeli, dimarahi, dicaci, bahkan sampai dipukul. Pernah aku dihajar pakai gagang sapu hingga patah gara-gara memecahkan vas bunga kesayangannya. Aku hanya bisa menangis dan merintih pilu.
Bukan hanya Bibi saja yang sering menderaku, ketiga anak perempuannya juga begitu. Bahkan putri bungsunya yang usianya dua tahun lebih tua dariku pernah menyiksaku. Suatu ketika aku dituduh menghilangkan barang mainannya. Tanpa ampun dia langsung menginjak-injak tubuhku, menendang, memukul, dan puncaknya menggunting telingaku hingga berdarah. Perbuatannya itu dibiarkan saja oleh Bibi. Ketika kemudian barang mainan itu ditemukan terselip di kolong ranjang, alih-alih mereka minta maaf malah aku disalahkan karena teledor waktu membereskan kamar. Sungguh, betapa pedihnya hatiku!
Hidupku memang jauh dari kebahagiaan. Hari-hari yang kujalani penuh coba-derita. Aku sebenarnya tak tahan diperlakukan seperti ini, tapi aku tak tahu ke mana mesti lari. Aku sudah tak punya keluarga. Ibu kandungku tak ketahuan di mana rimbanya. Waktu pemakaman Nenek dia tidak hadir. Konon, ibuku sudah kawin lagi dengan orang asing dan tinggal di Malaysia. Bahkan ada yang bilang sudah mati. Entahlah, yang jelas aku sebatang kara.
Saat usiaku beranjak dewasa, perlakuan Bibi dan ketiga putrinya tak berubah. Aku pun tumbuh menjadi sosok pendiam, minder, dan tertutup. Aku jarang bergaul di luar, karena Bibi sering melarangku pergi. Hidupku hanya berputar dari rumah, sekolah, dan warung tempat belanja. Hanya itu saja. Bahkan di sekolah pun aku sering mendapat perlakuan buruk, karena aku tampak berbeda. Teman-teman suka mengolok-olok dan mengejekku. Tapi aku hanya diam saja dan tak mau membalas.
Perlakuan kejam keluarga Bibi agak berkurang ketika satu persatu putrinya dilamar orang dan kemudian hidup terpisah dari orang tua. Bibi sendiri mulai dimakan usia, tenaganya lemah, dan sering sakit-sakitan. Tapi umpatannya masih terdengar lantang di telinga. Seruan ‘anak haram jadah’, ‘anak tak tahu diuntung’, ‘pemalas’, atau ‘lemot’ menjadi intro wajibnya bila memerintahku. Telinga dan perasaanku sudah cukup kebal mendengarnya. Asal tak menyebut ibuku pelacur saja, hatiku bisa cukup bersabar.
Aku tadinya merasa lebih tenang setelah ketiga putri Bibi pergi dari rumah dan hari-hari Bibi lebih banyak terkapar di ranjang karena stroke. Tapi ketenanganku terusik ketika suatu malam, saat aku sedang lelap di kamar, tiba-tiba aku merasakan tubuhku seperti ada yang menindih. Saat kubuka mata, jantungku seperti disambar petir. Wajah seram paman melekat di pelupuk mata. Dengan desis suara yang mendirikan bulu roma, paman meminta aku melayani syahwatnya. Dan malam jahanam itu menjadi malam kelam yang tak akan pernah terlupakan dari benakku.
Sejak kejadian itu, paman sering menyambangi aku malam-malam. Saat Bibi sudah terlelap di kamarnya. Apalagi belakangan usaha dagang paman menurun. Dia jarang lagi pergi ke pasar. Aku tak kuasa melawan kehendak paman, karena dia mengancam akan membunuhku bila berani buka mulut. Aku hanya bisa terpekur kelu. Perasaan pedih, tertekan, dan takut mendera jiwaku. Sungguh, hidupku serasa di dalam neraka. Aku cemas kebobrokan ini akan terbongkar. Aku bisa bayangkan, bagaimana murkanya Bibi dan ketiga putrinya bila mengetahui kejadian ini.
Setelah kupikir masak-masak, akhirnya aku memutuskan lari dari rumah Bibi. Pergi ke ibukota. Dengan peta buta aku menjelajah sudut-sudut kota Jakarta. Seperti burung yang terbang lepas aku hirup udara kebebasan. Kutemukan dunia yang selama ini kucari. Aku tak peduli bagaimana mencari makan, ke mana bersarang. Kebetulan ada pengelana malam berbaik hati menampungku. Dikenalkannya aku pada kehidupan malam. Meski sadar, dunia yang kujalani ini jauh dari norma-norma susila dan agama, tapi peduli setan. Toh, hidupku sudah terlanjur kotor dan hancur. Sekalian saja aku tenggelam!
Telah banyak lelaki hilir mudik menyambangiku. Namun dari semua yang hadir itu tak ada yang seperti Mas Han. Sungguh, dia lelaki istimewa. Dia bukan sekadar teman berkencan, tapi juga seperti sahabat, pacar, sekaligus belahan jiwa. Aku menemukan kecocokan dengannya. Mas Han orangnya lembut, romantis, sabar, dan tenang. Beda dengan laki-laki kebanyakan yang kasar, egois, dan temperamen. Dengan Mas Han aku seperti menemukan surga. Tak kupungkiri aku jatuh cinta padanya.
Ketika aku mencurahkan isi hatiku ini, dia malah tertawa.
“Kenapa, Mas? Aku benar-benar mencintaimu. Apakah kamu tidak cinta padaku?” rajukku.
“Ya, ya. Aku juga mencintaimu,” ucapnya datar.
“Kalau begitu, kenapa kamu tertawa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Lucu saja!”
“Tidak lucu, Mas. Ini serius! Aku bahkan ingin menikah denganmu!” tegasku menekankan.
“Inilah yang lucu. Aku tak mungkin menikah denganmu. Apa kata orang nanti? Lagian, aku tak ingin menghancurkan keluargaku. Aku tak mungkin meninggalkan Lia. Aku tak mungkin meninggalkan anak-anak! Aku sangat mencintai mereka!” jawabnya.
Aku tertegun. Tiba-tiba aku tersadar. Hatiku serasa tertampar keras. Benar juga! Mas Han sudah punya istri, punya anak. Dia tak mungkin meninggalkan keluarganya demi manusia kotor sepertiku. Tapi aku seakan tak bisa menerima kenyataan ini. Aku kembali merajuk.
“Lalu, apa artinya hubungan kita ini, Mas?”
“Hubungan kita ya, seperti ini saja. Aku akan menemuimu saat aku membutuhkanmu. Kita tak perlu bikin komitmen apa-apa. Kita saling percaya saja bahwa kita saling mencintai. Bukankah cinta tidak harus saling memiliki? Karena cinta cukup untuk cinta!”
Dia menyitir sebuah ungkapan puitis seorang pujangga. Aku meneguk liur, pahit. Aku tak ingin sekadar mencinta, Mas. Aku juga ingin memiliki. Aku ingin diakui. Sejak lama aku hidup sebatang kara. Tak ada yang mengasihiku dengan setulus hati. Tak ada yang mau menerimaku apa adanya. Hanya kamu, Mas, yang bisa mengerti diriku, mau menerimaku dengan sepenuh hati.
Tiba-tiba aku dibelit rasa cemburu pada Lia. Aku ingin seperti dirinya, agar aku bisa mengecap kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang utuh. Keinginan itu yang mendorong aku akhir-akhir ini sering mengikuti Lia. Menyelidikinya. Mengamatinya dari jauh. Aku ingin tahu, di mana kekuatannya sehingga Mas Han tak berani melepasnya. Aku ingin belajar padanya bagaimana mengurus keluarga.
Tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal kutahu tentang dirinya, semakin ciut nyaliku. Kerdil jiwaku. Kamu begitu sempurna, Lia. Sangat sempurna. Kamu perempuan ideal dambaan semua pria. Cantik, anggun, pintar, seksi, berkelas, keibuan, dan pandai merawat keluarga. Sungguh, kamu memiliki segala yang diimpikan perempuan. Bila ada yang kurang pada dirimu hanya satu; kamu lalai menjaga suamimu!
Andai aku menjadi kamu, tak kubiarkan suamiku kelayapan di klub malam. Tak kubiarkan dia mencari teman bersandar di luar rumah. Tak kubiarkan dia menanggung beban sendirian. Tak kubiarkan dia kehilangan arah tujuan. Karena dia tidak hanya butuh cinta dan kepercayaan, tapi juga belaian kasih sayang, perhatian, dan kelembutan. Setangguh-tangguhnya lelaki, mereka juga punya sisi lemah!
Tapi itulah… aku tak mungkin menjadi kamu. Aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Karena kutahu, sebuah kemustahilan melawan kodrat. Aku terlahir sebagai laki-laki, meski jiwaku perempuan. Entah, siapa yang patut disalahkan atas keadaanku ini. Tapi satu hal pasti, aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Tapi ingin sekali kubisikkan padamu; jagalah suamimu agar dia tidak lari ke pelukan manusia sepertiku!
Tamat

Aurel, Ti amore

Aku menatap lekat-lekat foto gadis berlesung pipit, Aurel. Mataku seakan tak bisa lepas memandanginya. Sama seperti otakku yang tak pernah bisa menghapus memori tentangnya. Sama seperti hatiku yang tak pernah bisa berhenti memanggil namanya. Tiga tahun ini aku menganggap Aurel sebagai masa lalu yang kini tak pernah tergapai, walaupun aku sangat mengharapkannya. Tiga tahun ini aku dan Aurel dipisahkan oleh  tembok-tembok ruang dan waktu yang tak jelas batasannya. Tiga tahun ini aku tak pernah sekalipun menjenguk wajah purnamanya. Huh! slide-slide film otakku kembali memutar potongan-potongan kisah tiga tahun lalu.
* * *
“Aku nggak setuju Ndra, kamu ikut balapan itu,” kata Aurel ketus. Aku mendengus sebal. Ini yang ketiga kalinya Aurel melarangku untuk ikut balapan bersama teman-temanku.
“Nggak Rel, aku akan tetap ikut balapan itu! Sudah dua kali Rel, aku menolak permintaan mereka untuk adu balap denganku. Mereka sudah sangat kecewa padaku.”
“Oh  begitu, kau lebih suka bila aku yang kecewa!” Nada bicara Aurel mulai meninggi. Aku mencoba untuk sabar.
“Bukan begitu Rel, ini cuma balapan biasa. Aku tak ingin teman-temanku kecewa. Aku pun juga tak ingin kau kecewa padaku, Rel.” Aku mencoba menyakinkan gadis yang  sangat kusayangi ini, tapi nampaknya Aurel tetap pada keputusannya.
“Aku nggak suka Ndra kamu ikut balapan. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu Ndra. Aku nggak mau!” Aku memandang kilat di mata  Aurel. Aku tahu gadis itu sangat mencintaiku.
“Aku akan baik-baik saja Rel, sekali lagi kukatakan padamu ini cuma balapan biasa!”
“Nggak Ndra! Aku nggak mau kamu ikut balapan itu.” Amarah Aurel semakin menjadi-jadi.
“Ok, kalau begitu aku akan ikut kau balapan Ndra.” Aku terkejut dengan perkataan Aurel. Selama ini dia sangat penakut, bahkan sampai sekarang gadis pujaanku ini takut mengendarai sepeda motor sendiri.
“Nggak Rel, kau jangan ikut balapan itu. Aku……” Aku tidak melanjutkan kalimatku
“Aku apa, Ndra? Kau takut terjadi apa-apa padaku? Aku akan tetap ikut. Aku akan selalu bersamamu, Ndra.” Aku hanya bisa pasrah dan mengijinkan Aurel ikut balapan. Aku yakin kami akan baik-baik saja, seperti balapan yang sudah kuikuti sebelumnya.
Minggu pagi. Alan, Danu, Rendy, dan beberapa teman mereka telah siap untuk bertempur dalam balapan motor ini. Sebenarnya jalan yang kami gunakan bukan arena balap, jalan ini hanya jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di belakang, Aurel memelukku dengan sangat erat. Aku memegang tangannya untuk menenangkan. Dingin! Tak pernah aku merasakan tangan Aurel yang sedingin ini. Semua telah bersiap-siap dan memanasi mesin.
“Ok, Man. 1….2…..3……go!!”
Motor-motor pun dipacu dengan kecepatan tinggi. Asap-asap menari-nari bersama bising kendaraan yang memekakkan gendang telinga. Kurasakan Aurel semakin erat memeluk tubuhku. Kupacu motor dengan kecepatan penuh. Dan sekarang aku telah berada di posisi terdepan. Aku memang terkenal sebagai jagoan balap di kalangan teman-temanku. Memang akulah yang paling hebat! Memang akulah juaranya!
“Brukk!!!”
Tiba-tiba sebuah mobil menyebrang jalan. Kecepatan yang tinggi membuatku tak bisa mengerem ataupun menghidari mobil hitam tersebut. Sepeda motorku oleng bersama tubuhku yang terpelanting jauh.  Sempat kurasakan darah merembesi keningku. Tiba-tiba  semua gelap. Aku tak sadarkan diri.
Entah bagaimana tapi aku sudah berada di rumah ketika membuka mata. Ibuku mengatakan kalau aku sudah terbaring di sini selama delapan hari.
“Aurel!! Mana Aurel, Ma? Dia baik-baik saja kan?” Aku langsung teringat belahan jiwaku itu saat aku baru sadar dari koma.
“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Keluarga Aurel telah membawanya ke rumah sakit di Jakarta untuk berobat.”
“Apa, Ma! Separah itukah keadaan Aurel, Ma? Ini semua karena Indra, Ma, harusnya  Indra nggak ikut balapan itu.”
“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Mama menenangkanku  sambil merapikan selimut dan meninggalkanku sendiri.
Aku sedih bukan main. Rasa bersalah menghimpit-himpit dan menyesakiku. Aurel kau di mana? Maafkan aku Rel. Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau harus berobat ke Jakarta? Seberapa parah lukamu? Ini semua karena aku tak mendengarkan kata-katamu Rel. Kuraba kepalaku yang masih terbalut perban, perih. Tapi perih ini tak sebanding dengan perih dihatiku.
Satu bulan aku hidup dalam perasaan bersalah yang terus menghimpit nurani dan batinku. Siang malam aku hanya memikirkan Aurel. Sebelum akhirnya datang surat tanpa alamat dari Aurel
Ndra, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja disini. Aku sekarang mengikuti ayahku yang bekerja di luar negeri. Berat memang untuk meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi kukira inilah jalan yang terbaik untuk kita. Lupakan saja aku, Ndra. Dan aku juga  akan mencoba melupakanmu, walau kutahu itu pasti akan sangat sulit.

Selamat tinggal Ndra
Aurel

Aku kenal betul tulisan tangan Aurel dan aku tahu surat itu memang dari Aurel, tapi aku sama sekali tak kenal dengan Aurel yang menulis surat itu. Aurel tidak akan seperti itu, dia mencintaiku, dia tidak mungkin meninggalkanku semudah itu.
Kenapa kau meninggalkanku, Rel? Kenapa kau ucapkan salam perpisahan? Kenapa kau suruh aku melupakanmu? Itu sungguh sangat mustahil bagiku, Rel. Kau telah menancapkan namamu di hatiku dan aku takkan pernah bisa untuk mencabutnya.
* * *
Dan majalah inilah yang kembali mengusik rasa cinta dan harapanku tentang Aurel yang kupendam sejak tiga tahun lalu. Majalah yang ada di genggaman tanganku ini seakan mengobarkan api semangat dalam diriku untuk kembali menemui Aurel. Sebuah artikel berjudul “ Love and a honesty”. Aku takkan pernah mempersoalkan artikel ini jika nama penulisnya bukan Aurel Recyani, Venesia.
Venesia! Aurel sekarang berada di kota Venesia. Kenapa kau pergi sejauh itu, Rel? Apakah aku harus menyusulmu ke sana? Haruskah aku menjadi lelaki pecinta yang mengejar gadis impiannya  ke ujung dunia? Venesia sangat jauh, Rel. Bagaimana aku bisa menemukanmu di kota yang asing bagiku itu. Malam itu aku tak bisa tidur memikirkan Aurel. Aku sudah terlanjur merindukannya, sangat merindukannya. Dan bila kau sekarang bertanya padaku tentang cinta, maka hanya ada satu nama, Aurel.
Venesia!! Tiba-tiba aku ingat kalau Rico, sahabat kecilku saat SMP itu sekarang tinggal di kota itu. Aku segera mencari alamat e-mail Rico di buku kenangan. Rico_Cakepz@oke.com. Kunyalakan komputerku segera. Tiba-tiba saja muncul satu tekad dalam diriku. Aku harus menemukan Aurel!!
Hi Ric, ini gw Indra. Lo masih ingetkan sama gw, teman SMP lo. gimana kabar lo sekarang? Sudah berapa banyak gadis Venesia yang lo pikat hatinya?”
Ric, gw perlu bantuan lo. Gue pengen berkunjung ke kota lo, Venesia. Gw akan mengejar cinta sejati gw kesana. Lo mau kan jadi pemadu  gw. Please Ric, ini sangat penting buat gw.
Gw akan kesana saat liburan akhir semester ini. Thank’s before!
Kutekan tombol send pada layar. Ricolah satu-satunya harapanku untuk bisa menemukan Aurel. Sambil menuggu  balasan dari Rico aku mencoba browser tentang kota Venesia. Satu jam kemudian baru datang e-mail balasan dari Rico.
Hi sowbat, mana mungkin gue bisa ngelupain temen bolos gue pas SMP. Wah rupanya Indra yang saat SMP dikenal playboy sudah berubah menjadi pecinta sejati. Dengan senang hati gue akan jadi pemadu lo di kota cantik ini. Kutunggu kedatanganmu sowbat.
Aku bernapas lega. Venesia, Aku datang!
* * *
Langit biru berpadu dengan awan putih, angin dengan lembut membelai rambut  hitam dan kulit sawo matangku yang tampak mencolok dari orang-orang yang berlalu lalang. Dan hari ini adalah akhir penantianku selama dua bulan terakhir. Aku menginjakkan kakiku di bumi Venesia tepatnya di bandara Marcopolo. Ya,Venesia memang kota asal si pedagang dan musafir yang terkenal karena pengembaraannya di negara Asia. Namanyapun diabadikan sebagai nama bandara di kota itu.
“Indra!!!” Seseorang menepuk  pundakku dari belakang. Aku segera menoleh untuk memastikan siapa yang melakukannya.
“Rico!!” Dengan refleks kami berpelukan. Sudah lama sekali aku tak berjumpa dengan sahabatku itu, sudah sekitar enam tahun. Kuperhatikan  Rico masih  sama seperti saat SMP dulu, masih setia dengan kaos dan celana selutut yang selalu menjadi andalannya.
“Akhirnya lo sampai juga, Ndra. Selamat datang di kota romantis Venesia,” ucap Rico dengan mata berbinar-binar. Terlalu berlebihan kukira, harusnya aku yang senang ada di kota ini. Aurel, aku sudah sangat dekat denganmu.
“Lo nggak banyak berubah Ric,” kataku. Rico hanya nyengir mendengar komentarku.
“Ayo Ndra, kita  langsung ke rumahku. Kau pasti sudah sangat lelah.”
Aku disambut dengan sangat hangat ketika  sampai di rumah Rico. Sebuah rumah mewah bergaya klasik khas Venesia. Papa Mama Rico ternyata  masih mengingatku, begitu juga  si  kecil Mia yang sekarang mungkin  sudah berusia 12 tahun.
“Padre1, nanti saja ngobrolnya. Kasihan, Indra pasti sangat lelah,” sergah Rico ketika Om Iwan mulai bertanya macam-macam tentang Indonesia.
“Ya sudahlah kalau begitu,” desah Om Iwan pasrah. Aku hanya tersenyum melihat tingkah ayah  dan anak itu. Rico mengantarku ke sebuah kamar di lantai dua, langsung kurebahkan tubuhku di kasur begitu Rico meninggalkanku sendirian. Benar juga kata Rico aku sangat lelah. Otot-ototku terasa kaku setelah berjam-jam duduk di pesawat. Sambil berbaring kusempatkan melihat foto Aurel. Semoga jodoh menemui kita Rel!
* * *
Mentari bersinar lembut. Kuhirup kuat-kuat udara segar dari jendela kamarku. Rico sudah merencanakan akan mengajakku berkeliling kota air ini sambil mencari Aurel. Kusiapkan foto Aurel. Foto tiga tahun lalu itu  menampilkan Aurel dengan senyumnya yang menawan. Bagaimana kau sekarang, Rel? Apa rambut hitammu itu sudah kau cat pirang seperti gadis-gadis Venesia?
“Gimana Ndra, lo udah siap? Cepat turun ke meja makan. Madre2 sudah menyiapkan makanan khas Itali,” ajak Rico.
“Iya Ric, gue udah  siap dari tadi.”
Di meja  makan sudah tersedia makanan-makanan yang asing bagiku.
“Itu namanya Risotto, Ndra, nasi khas Itali, dan yang itu kau tahu sendirilah, Ndra. Dada ayam yang dibakar,” jelas Rico padaku. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Segera kucicipi makanan di depanku itu.
“Enak, Ric.”
“Tentu aja, Madre gitu loh!”
Pagi itu juga Rico membawaku berkeliling kota Venesia, kota yang juga mendapat julukan The Queen of of the Adriatic.
“Bagaimana kalau kita pergi  ke lapangan San Marco dulu. Banyak orang di sana, mungkin ada yang tahu tentang Aurel,”  kata Rico
“Bouno idea3, Ric, gue setuju. Semoga kita bisa mendapatkan petunjuk di sana,” kupraktekkan bahasa Itali yang  dua bulan ini kupelajari.
“Ternyata lo bisa bahasa Itali juga, Ndra!” Rico tampak terkejut mendengarku berbicara bahasa Itali.
“Ya, iyalah. Indra gitu!” kataku bangga, padahal bahasa Italiku masih sangat pas-pasan.
“Sono felice4, semoga kau bisa menikmati kota ini.”
Untuk sampai ke lapangan San Marco, kami cukup berjalan kaki. Di Venesia ini sangat jarang kita temui kendaraan seperti mobil atau sepeda motor. Sesuai dengan julukan Venesia sebagai kota air, di sini banyak terdapat kanal-kanal. Penduduk menggunakan Gondola5 dan Vaporetto6 sebagai media transportasi utama. Kunikmati bangunan-bangunan tua yang berjejer rapi sejauh mata memandang. Mulai dari istana, gereja sampai museum-museum bergaya gothic. Sepanjang perjalanan ke lapangan San Marco juga banyak pedagang-pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis souvenir. Mulai dari kalung, topi, kaos ataupun gondola mini. Tapi yang paling terkenal dari Venesia  adalah souvenir gelas kristal mutu tinggi.
Lapangan San Marco sudah sangat ramai ketika kami tiba di sana. Menurut penjelasan Rico, lapangan ini awalnya dibuat sebagai pusat kegiatan kenegaraan dan keagamaan dan dalam beberapa periode juga menjadi pusat kegiatan komersial. Sekarang ini lapangan dijadikan simbol keindahan sebuah kota. Beberapa orang tampat menikmati keindahan The clock tower  dan berfoto di depannya. Ada juga orang yang memilih duduk-duduk di kafe-kafe yang ada di sekitar lapangan. Beberapa turis tampak bercanda-canda dengan burung dara. Mereka menaburi tubuh mereka dengan makanan burung dan membiarkan burung-burung dara menyerbu tubuh mereka.
Ah!!! Aku tidak boleh terlalu lama terpesona dengan suasana kota  Marco Polo ini karena tujuan pertamaku adalah Aurel. Kulihat Rico sudah mulai bertanya pada seorang laki-laki dengan bahasa Itali sambil menunjukkan foto Aurel yang tadi kuberikan. Tampak lelaki itu hanya menggeleng-geleng. Segera kuikuti apa yang dilakukan sahabatku itu. Berpuluh-puluh orang kutanyai dengan bahasa Italiku yang pas-pasan dan semua hanya menggelengkan kepala. Kenapa susah sekali menemukanmu Rel?
* * *
Senja merangkak menggantikan langit biru. Matahari perlahan menuju tempat persinggahannya. Rico mengajakku ke Porta Venezia, sebuah restoran mewah milik orang Indonesia. Kubah dengan lukisan perkebunan di Venesia tampak menonjol di pintu masuk. Kubiarkan Rico memilih menu makanan,  aku tidak tahu sama sekali tentang makanan Itali kecuali Pizza tentunya.
“Ok, kami pesan carpoccio, salmone alla griglia dan passion fruit crepes,” pesan Rico pada seorang pelayan.
“Calma gente7, Ndra, memang sulit sekali menemukan Aurel. Venesia memang kota kecil, tapi kota ini terlalu besar untuk bisa menemukan seseorang hanya dalam sehari. Besok kita cari Aurel lagi. Bila kalian berjodoh, kalian pasti akan bertemu,” ucap Rico bijak. Mungkin dari tadi Rico memperhatikan mukaku yang lesu.
“Kau benar, Rico.” Kuletakkan foto Aurel yang sedari tadi berada di tanganku.
Seorang wanita datang mengantarkan pesanan kami. Dari wajahnya aku bisa menebak bahwa dia adalah orang Indonesia. Dengan telaten wanita itu meletakkan pesanan kami di atas meja.
“Hmm, permisi Tuan, bukankah ini Nona Aurel?” Wanita itu tiba-tiba mengambil foto Aurel lalu memandangnya lama.
“Apa kamu mengenalnya, Nona?” tanyaku tak sabar.
“Tentu saja, sebelum saya bekerja di restoran ini, saya bekerja di rumah Nona Aurel.”
“Benarkah yang kau katakan?” ucapku setengah berteriak.
“Nona, bisakah kau  mengantar kami ke rumah Aurel?” tanya Rico.
“Saya ingin sekali, Tuan, tapi saya masih harus bekerja sampai malam nanti.”
“Kumohon, Nona, antarkan kami menemui Aurel sekarang juga,” rajukku dengan nada mengiba.
“Maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa. Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya.”
“Sekarang juga saya akan memintakan ijin pada manajer anda.” Tanpa menunggu jawaban, Rico segera beranjak mencari manajer Porta Venezia.
Entah bagaimana cara Rico meyakinkan, akhirnya manajer itupun setuju. Wanita bernama Nora itu pun mengantarkan kami ke tempat Aurel. Sepanjang perjalanan dengan gondola. Aku hanya diam. Hatiku gelisah. Terselip rasa takut bila nanti Aurel menolak menemuiku. Segera kutepis perasaan itu. Rel, aku yakin kau masih mencintaiku seperti aku mencintaimu.
Sekitar 10 menit berjalan kaki, Nora berhenti di sebuah rumah besar yang asri dengan taman yang luas.
“Ini rumah Nona Aurel, Tuan!” kata Nora sambil memencet bel rumah itu. Seorang wanita setengah baya keluar membuka pintu.
“Tante Rena!” Aku sedikit terkejut, wanita itu adalah mama Aurel.
“I..In…Indra!” pekik mama Aurel. Aku tahu beliau pasti sangat terkejut melihatku ada di kota ini.
“Tante, aku ingin bertemu dengan Aurel.”
“Tapi….Aurel…..”
“Kumohon, Tante. Saya jauh-jauh datang dari Indonesia hanya untuk menemuinya Tante.”
“Tapi….”
“Tante, ijinkanlah saya bertemu dengan wanita yang saya cintai tante. Saya mohon.” Tante Rena diam untuk beberapa lama.
“Baiklah!” Akhirnya tante Rena luluh. Tapi entah kenapa kulihat airmata merembesi pipinya.
Rumah Aurel tak jauh berbeda dengan rumah Rico. Tetap dengan desain klasik khas Venesia. Aku mengikuti Tante Rena dari belakang, sedangkan Rico dan Nora memilih menunggu di ruang tamu. Tante Rena berhenti di sebuah ruangan
“Ini kamar Aurel,” katanya. Aku hanya bisa diam, menahan gejolak yang tak menentu di dadaku.
“Tok….tok…tok..! Aurel ada yang ingin ketemu.” Tanpa menunggu jawaban Tante Rena membuka pintu.
Seorang gadis duduk membelakangiku di atas kursi roda. Untuk sesaat aku hanya diam. Aku tak menyangka kecelakaan itu membuat Aurel harus duduk di kursi roda.
“A..a..Aurel!” panggilku pelan. Sangat pelan. Gadis itu diam. Kuas yang ada di tangannya seketika terjatuh.
“Aurel, ini aku Rel.” Aku mengulangi memanggilnya. Gadis itu pun berbalik.
“Indra!!!!!” Binar-binar terlihat dari matanya lalu kulihat bulir-bulir jatuh dari mata indah itu. Saat itu juga rasanya aku ingin memeluk Aurel.
“Indra, a…pa yang kau lakukan di sini?”
“Apa maksudmu, Rel? Aku ke sini untuk menemuimu. Mi macherai8.”
“Sudah kubilang dalam surat itu, lupakan saja aku, Ndra.” Air mata semakin deras merembesi pipi Aurel, membuat hatiku seperti teriris-iris.
“Nggak Rel, aku nggak akan pernah bisa melupakanmu. Nggak akan bisa, Rel, sampai kapanpun.”
“Sekarang aku nggak pantas untukmu, Ndra. Aku hanya seorang gadis cacat. Aku nggak mau menjadi beban dalam hidupmu Ndra. Masih banyak wanita lain yang lebih baik dan lebih sempurna dariku. Lupakan aku, Ndra.” Mataku basah. Bagaimana bisa Aurel bicara seperti itu.
“Smettila didir cazzate, Rel. Non essere pirla9. Semua ini salahku, Rel. Aku yang membuatmu begini. Aku akan selalu mendampingimu bagaimanapun keadaanmu, Rel.”
“Calma gente Ndra, stai bene10. Aku nggak mau kau merasa bersalah karena keadaanku ini. Aku juga nggak mau kau mengasihaniku.”
“Nggak Rel, aku bukan lelaki seperti itu. Asal kau tahu Rel, tiga tahun ini aku selalu meencarimu. Tiga tahun ini kau selalu merindukanmu dan tiga tahun ini juga aku selalu mencintaimu, Rel. Menurutmu kenapa aku jauh-jauh pergi ke Venesia? Untuk apa aku ke sini kalau bukan untuk menemuimu, Rel. Aku nggak peduli kau cacat, karena aku akan menjadi kakimu. Aku mencintaimu apa adanya.”
“Tapi aku tidak mencintaimu, Ndra,” ucap Aurel pelan.
“Kau bohong, Rel. Kau bohong! Lukisan itulah buktinya!” Aku menunjuk ke kanvas yang ada di belakang Aurel.”
“Kenapa kau melukis wajahku jika kau tak mencintaiku. Jawab, Rel! Jawab! Aku tahu dari matamu kalau kau masih mencintaiku.”
“Kau benar, Ndra, aku memang mencintaimu. Aku tak pernah bisa melupakanmu, Ndra.” Aurel semakin keras menangis. Pundaknya bergetar hebat. Aku melangkah mendekat. Kupeluk tubuh Aurel untuk menenangkannya. Suasana haru menyelimuti kamar Aurel. Akhirnya aku bisa memelukmu lagi Rel. Aku janji aku nggak akan pernah meninggalkanmu dan aku akan selalu melindungimu.
“Aurel, Ti Amore11!!”

Cinta

“Sis, lo mau gak jadi cewek gua?”
Akhirnya kalimat itu terucap juga dari mulut Andre, cowok yang belakangan ini mengisi hari-hari Siska. Sejak Siska berkenalan dengan Andre sekitar enam bulan yang lalu, Andre selalu membuat Siska bahagia. Meskipun perkenalan mereka saat itu tak disengaja, tapi justru itu yang membuat Siska suka tersenyum sendiri ketika mengingat peristiwa itu. Saat itu, Andre menelepon Siska untuk pertama kalinya, tapi Andre bahkan tidak tahu yang mana gadis yang bernama Siska. Lucu. Semua berkat Ryan, teman Andre yang ingin berkenalan dengan Siska namun tak ada nyali untuk maju sendiri. Akhirnya Andre-lah yang menjadi tamengnya.
“Sis?”
“Sis!” Andre berteriak di telepon.
“Oh iya, sorry…” Siska tersadar dari lamunannya.
“Jadi? Lo mau gak jadi cewek gua?”
Siska berpikir sejenak walau dalam hati ia sangat senang sekali mendengar Andre menyatakan perasaannya.
“Gua itung sampe 13 dan lo harus udah punya jawabannya,” ucap Andre.
“Satu, dua, …. , tiga belas!!! Jadi?” tanya Andre penasaran.
“Iya.”
                                                         ***
“Cieee…. yang baru jadian senyum-senyum mulu dari tadi,” ejek Lisa.
Lisa adalah teman baik Siska sejak mereka kelas 1 SMP. Sudah tiga tahun mereka bersahabat, dan Lisa selalu ada untuk Siska, begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang mereka tidak ceritakan satu sama lain. Siska senang sekali mempunyai sahabat seperti Lisa.
“Lisa!!! Jangan gitu dong ah!” jawab Siska tersipu-sipu malu.
“Tapi ngomong-ngomong lo ga bareng cowok lo? Mang belom waktunya anak SMA istirahat ya?” tanya Lisa.
Memang, Siska dan Andre jarang terlihat bersama di sekolah. Mungkin karena jadwal Siska yang masih duduk di kelas 3 SMP agak sedikit berbeda dengan Andre yang sudah duduk di kelas 1 SMA.
“Kayaknya bentar lagi deh, Lis. Eh, tuh orangnya!” seru Siska sambil menunjuk ke arah Andre yang sedang berdiri di dekat pintu kantin.
“Hai!” sapa Andre sambil nyengir ketika mereka jalan berpapasan. Lalu, Andre langsung jalan begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi pada Siska.
“Apaan tuh?!! Lo orang sebenernya pacaran apa kaga sih?” ucap Lisa kesal.
“Yah, dia emang orangnya kayak gitu, Lis. Gengsian. Mau diapain lagi,” jawab Siska sambil menghela napas.
“Ya tapi kan lo ceweknya, Sis? Masa nyapa aja kaya gitu?!” ucap Lisa dengan nada yang makin meninggi.
“Udahlah, Lis. Justru karna gua sekarang udah jadi ceweknya, makanya gua harus lebih bisa ngertiin dia,” Siska menjawab dengan tenang, meski dalam hati, Siska ingin sekali seperti pasangan-pasangan lainnya. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama-sama tiap kali ada kesempatan. Namun Siska harus puas dengan keadaannya sekarang.
Mungkin emang gua yang terlalu banyak mikir, gua gak boleh terlalu banyak menuntut. Andre sayang sama gua dan itu udah cukup, batin Siska.

***
Sis, kayaknya lebih baik kita putus aja…
Siska membaca SMS dari Andre berkali-kali. Ia tidak percaya Andre tega memutuskannya begitu saja. Selama tujuh bulan mereka berpacaran, Siska merasa sangat bahagia. Meski kadang ia sangat ingin menghabiskan waktunya lebih banyak lagi bersama Andre, tapi ia bisa menerima sepenuhnya, ia tidak mau menuntut lebih banyak lagi.
“Udah dong, Sis. Jangan nangis terus, mungkin dia emang bukan yang terbaik buat lo,” hibur Lisa.
“Tapi gua sayang banget sama dia, Lis. Dia gengsi ngomong ama gua, okay.. gua terima. Dia malu kalo jalan bareng ama gua di sekolah, okay.. gua juga ngerti. Tapi gua gak mau putus, Lis,” tutur Siska di sela-sela tangisnya.
Lisa memeluk sahabatnya erat. Lisa ikut merasakan kesedihan yang sedang dirasakan teman terbaiknya ini.
***
Dua tahun sudah sejak Andre mengakhiri hubungan mereka. Sejak saat itu, mereka sama sekali tidak berhubungan. Siska pernah sekali mendengar kabar tentang Andre yang sudah mempunyai pacar baru. Siska sedih. Ia sedih karena hanya dua bulan yang Andre butuhkan untuk melupakan dirinya dan kemudian menjalin hubungan dengan orang lain. Terlebih lagi, Siska tidak menyangka bahwa orang lain itu adalah Rini, adik kelasnya yang selalu mencuri-curi kesempatan untuk bisa bersama Andre, bahkan ketika mereka masih berpacaran.
Brrr… Brrr… HP Siska bergetar.
1 received message
Lo mau gak jadi cewek gua lagi?
Siska kaget membaca SMS dari Andre. Ya, Andre yang meninggalkannya dua tahun yang lalu. Tiba-tiba Siska merasakan sakit hatinya kembali. Kemudian ia memutuskan untuk mengabaikan SMS tersebut. Sejak saat itu, Andre mulai mengirim SMS lagi untuk Siska. Hanya beberapa yang dibalas oleh Siska, itupun ia jawab sesingkat mungkin.
Ini berlangsung selama dua tahun, Andre mencoba untuk mendekati Siska kembali lewat sms ataupun telepon. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertemu dengan Siska. Siska pun akhirnya setuju. Ketika mereka bertemu, mereka ngobrol seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin mereka berdua sama-sama belum siap untuk membahas peristiwa yang terjadi sekitar 4 tahun yang lalu itu.
“Gimana kabar lo, Sis? Dah punya cowok baru blom?” tanya Andre penasaran.
“Baik. Kenapa tanya-tanya?” sindir Siska.
“Gak apa-apa, pengen tau aja,” jawab Andre enteng.
Mereka berusaha menghabiskan hari itu senormal mungkin. Hingga sesampainya Siska di rumah, ia menangis sendirian di kamarnya. Ia sadar, rasa sayangnya untuk Andre belum hilang sepenuhnya. Padahal, ia telah mencoba begitu keras untuk menghapus semua kenangannya bersama Andre.
Kenapa sih, Ndre? Kenapa lo mesti dateng lagi ke kehidupan gua di saat gua udah mulai bisa ngelupain lo? Gua bener-bener pengen ngelupain lo, tapi kenapa lo harus muncul lagi di depan gua? Kenapa, Ndre? Kenapa? batin Siska sambil menangis.
***
Kriiiinngg!
Telepon rumah Siska berdering di saat hampir tengah malam.
“Halo?” jawab Siska.
“Sis, gua Andre…”
Siska bingung untuk apa Andre meneleponnya tengah malam begini.
“Oh, hai. Ada apa?” tanya Siska.
Andre terdiam sejenak.
“Ndre? Halo? Lo kenapa diem?” Siska heran.
“Sis, mungkin gak ada kesempatan kedua buat gua? Gua tau gua salah, apa yang gua lakuin empat  tahun lalu itu seharusnya gak gua lakuin. Gua nyesel banget. Gua pikir dengan jadian ama orang lain gua bisa ngelupain lo, ternyata gak. Lo memang beda. Jujur aja, setelah kita putus, gua deket ama banyak cewek, bahkan gua sempet jadian tiga kali. Tapi gua sadar gua gak bisa bohongin perasaan gua, Sis.. Gua sayang ama lo…”
Siska terdiam. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Ia tidak tahan lagi.
“Kalo emang lo sayang ama gua, kenapa lo tetep jadian ama cewek-cewek lo? Kenapa baru sekarang lo bilang semua ini sama gua? Kenapa, Ndre?” Siska tak kuasa menahan tangisnya.
“Gua tau gua salah. Tapi gua bener-bener gak mau kehilangan lo lagi, Sis. Gua bener-bener pengen lo ada di samping gua kaya dulu… Gua selalu nyari sosok diri lo di semua cewek yang gua temuin, tapi mereka tetep bukan lo! Gua cuma mau lo! Cuma lo yang bisa buat gua bahagia, cuma lo yang bisa buat gua ngerti dan ngerasain cinta yang sebenernya,” ucap Andre.
“Sis, gua bener-bener minta maaf,” lanjutnya.
Siska hanya bisa menangis dan diam. Malam itu benar-benar malam yang membingungkan bagi Siska. Di satu sisi, Siska masih amat sangat menyayangi Andre, tapi di sisi lain dia masih ingat benar bagaimana sakit hatinya ketika Andre pergi meninggalkan dirinya.
“Sis, gua ngerti kalo lo belom bisa nerima gua. Gua cuma mau lo tau kalo gua bener-bener sayang ama lo, dari dulu sampai sekarang. Gua mau kita kayak dulu lagi. Gua nyesel banget kenapa gua waktu itu harus ninggalin lo. Gua ga tau lagi mesti gimana, mudah-mudahan suatu saat lo bisa percaya ama gua.”
Siska menangis, lalu tersenyum.

Riri atau Yiyi

“Perkenalkan, nama saya Yina Matha. Panggil saja Yiyi. Maaf, ejaannya dengan huruf…,” aku lalu membentuk huruf R dengan kedua tanganku.
Mataku menyapu ke arah teman-teman di kelas tingkat awal di SMA yang merupakan kelas baruku tersebut. Tampaknya, mereka mulai kebingungan dengan caraku memperkenalkan diri. Aku tersenyum lebar, bergegas mengambil spidol, dan menuliskan kata RIRI dan RINA MARTHA besar-besar di bidang white board.
“Ooo…” koor serempak dari seisi kelas mulai terdengar. Sedikit kasak kusuk pun sempat mampir di telingaku ketika aku kembali ke bangku tempatku duduk.
“Eh, dia cadel ya?”
“Iya, cantik sih anaknya. Tapi kok cadel ya? Hihihi…”
“Psst… keras banget sih ngomongnya! Kasihan, nanti dia dengar lho!” timpal yang lain.
Aku cuma tersenyum ringan. Buatku, apa yang baru saja aku alami di kelas baruku dalam sesi perkenalan siswa baru itu kini sudah bisa membuatku bereaksi biasa. Juga sudah sama biasanya ketika ada teman-teman yang mengolok-olok dengan terang-terangan. Sudah kebal deh sepertinya rasa kuping dan hatiku ini. Misalnya seperti ini nih dulu yang aku alami sewaktu SMP…
“Tayi, denga-denga kamu lagi pacayan sama Yadit ya?”
“Iih… kok ngomong jorok sih? Nama bagus-bagus Tari kok jadi dipanggil begitu?”
“Iya nih, udah gede kok masih cadel!”
“Coba diulang! Bilangnya begini nih, Tarri, dengarr-dengarr kamu lagi pacarran sama Rradit ya? Gitu dong bilangnya…” timpal temanku yang lain tak mau kalah mengolok-olok dengan menekankan setiap huruf R yang diucapkannya.
Kalau urusan diejek seperti itu, seperti ketika aku duduk di bangku SD atau SMP dulu, bisa dibilang aku sudah cukup kebal. Tapi ada masanya juga lho dulu kadang aku bisa nangis sejadi-jadinya kalau harus mendengar ejekan nggak mengenakkan dari teman-temanku yang kebanyakan lebih suka menertawakan kekuranganku daripada menerima kondisiku.
Pernah suatu ketika pas SMP, guruku sedang mengadakan audisi untuk mencari siapa di antara kami yang duduk di kelas dua waktu itu, yang bisa mewakili sekolah untuk mengikuti lomba puisi di tingkat daerah.
Pas guru bahasa Indonesiaku masuk ke dalam kelas, teman-teman sudah langsung mendahului dengan mengatakan seperti ini, “Wah, audisi ini kayaknya punya perkecualian nih! Rrirri… karrena kamu kan pastinya nggak bisa memenangkan audisi, lebih baik sekarrang, kamu menyaksikan kami saja deh yang akan ikut audisi. Gimana?” ujar seorang temanku dengan nada bercanda namun cukup menusuk hatiku.
Senyum tipis aku tunjukkan di antara tumpahan air yang berdesakan ingin keluar dari mataku. Ah, itulah setidaknya sedikit dari sekian pengalaman yang masih aku simpan kesan rasa sakitnya.
Dulu, jika ingat masa-masa sewaktu aku kecil, ketika umurku sudah menginjak empat tahun, aku atau orangtuaku masih bisa santai-santai saja ketika aku belum bisa melafalkan huruf R dengan jelas.
Tapi waktu aku sudah berumur tujuh tahun, saat orangtuaku mulai memasukkan aku ke SD, kepanikan kami pun mulai terjadi. Yang aku sempat rasakan, orangtuaku waktu itu agak malu dengan kekurangan putri satu-satunya itu.
Tapi seiring waktu, yang aku lupa tepatnya kapan, sepertinya mereka jadi sering mengikutsertakan aku ke berbagai kegiatan ini itu. Les menari, les melukis, les biola, sampai berbagai macam les lainnya yang aku sendiri sampai lupa. Habisnya, banyak banget lesnya!
Tentu saja dari sekian banyak les tersebut, orangtuaku tidak akan mengarahkan aku untuk ikut les yang mengandalkan kemampuan bicaraku. Les paduan suara atau les teater misalnya. Ya begitulah, karena aku cadel!
Meskipun akhirnya ada beberapa les yang aku tekuni, hingga membuat aku bisa menguasai beberapa keahlian, tetap saja aku sering minder.
Misalnya nih kalau sekolahku mengikutsertakan aku ke berbagai lomba atau acara, meski awalnya Pe-De, tetap saja kalau akhirnya ada urusan cuap-cuap, aku langsung ketakutan setengah mati. Rasanya takut sekali kalau sampai ada orang yang tahu aku cadel terus mengolok-olokku habis-habisan.
Ada lagi nih cerita yang menyedihkan yaitu ketika aku duduk di bangku SMP. Ceritanya, ada tetanggaku yang punya anak cewek sebayaku dan entah kenapa, ia selalu suka mengolok-olokku habis-habisan. Kebetulan, Nana, nama anak cewek itu, selalu bisa satu sekolah denganku. Dan dari dialah, orang-orang di seantero sekolah akhirnya selalu tahu kalau aku ini cadel. Kayaknya dia nggak puas banget deh kalau cuma orang sekelas saja atau beberapa orang saja yang tahu kalau aku ini cadel.
Usut punya usut, ternyata dia iri dengan beberapa kelebihan yang aku miliki. Anaknya sih sebetulnya cantik. Meski aku juga cantik, itu kata teman-teman lho! Tapi aku akui, tetanggaku ini memang sedikit lebih cantik dari aku.
Yah, apa mungkin nggak semua orang yang diberi kelebihan selalu mensyukurinya ya? Jadi ternyata menurut beberapa temanku, Nana itu selalu tidak terima ketika sekolah kami sering memilih aku untuk maju mewakili lomba atau acara ini itu di luar sekolah.
Oke deh, untuk urusan sering memberitahu ke seantero sekolah kalau aku itu cadel masih bisa aku terima. Hiks, meskipun rasanya kok tega banget sih! Tapi, pernah suatu ketika ia membeli seekor anjing yang kemudian diberi nama… Yiyi!
Ih, rasanya sengaja menghina banget kan nih orang?! Masa, ketika jalan-jalan di taman komplek, dia memanggil keras-keras nama anjingnya itu. “Yiyi… yiyi…”
Aku yang awalnya belum tahu kalau nama anjingnya itu Yiyi, kontan waktu itu menjawab dengan “Hai, ada apa…” Yah, aku pikir si tetangga ini memang sengaja memanggilku karena yang aku tahu, ia memang sering sengaja memanggilku yang kadang dengan maksud setengah mengejek, memanggilku dengan nama cadelku.
Tapi ketika aku sudah menyahut, eh… dengan enaknya ia langsung menjawab, “Oh sori ya, aku sedang memanggil anjingku. Uhm, namamu bukannya Rrirri? Bukan Yiyi, kan? Kenapa menyahut?” jawabnya tanpa berdosa. Apalagi ketika dilihatnya orang-orang di sekitar kami yang menyadari kelucuan dari kejadian itu pun jadi ikut-ikutan menertawakan diriku.
Akhirnya sepulang dari taman, aku yang sudah tidak kuat menahan sekian lama berbagai penderitaan dan penghinaan yang aku alami, ehem, sedikit didramatisir, kemudian mengadu dan protes kepada mama.
“Mama, kenapa sih Yiyi dulu waktu kecil nggak dipaksa suka makan pedas. Sekayang kayak begini nih jadinya. Hu hu hu…” aduku sambil menangis tersedu-sedu.
“Sayang, mama sudah pernah mencoba memeriksakan Riri ke dokter dulu sewaktu kecil. Kata dokter, ada kelainan ukuran lidah Riri yang membuat Riri jadinya cadel sampai sekarang. Jadi, itu bukan karena Riri nggak suka makan pedas kok.”
Aku masih cemberut tidak terima. “Oke deh, tapi teyus kenapa sih Yiyi kok dulu dikasih nama Yiyi. Ini benar-benar menyulitkan Yiyi sendiyi jadinya. Masa manggil nama sendiyi saja susah?!”
Mama sejenak menghela nafas. “Aduh maaf ya Ri, padahal mama dan papa dulu memberikan namamu itu karena ada artinya lho, nggak sembarangan. Jadi mana tahu kalau ternyata jadinya seperti ini sekarang,” mama jadi salah tingkah menghadapiku.
Seketika aku langsung menghentikan tangisku. Jujur, seumur-umur hingga aku duduk di bangku SMP waktu itu, aku belum tahu arti namaku sendiri itu apa.
Mama pun dengan lemah lembut mencoba menjelaskan apa yang dulu pernah menjadi harapannya dengan papa atas diriku, sekarang dan nanti. “Rina itu kalau dalam bahasa Jawa artinya hari, dan Martha itu artinya yang berkuasa. Karena papa dan mama dulu susah punya anak, sekalinya ada kamu, ya kami merasa seperti ada kekuasaan Tuhan yang tiba-tiba memberikan kamu kepada kami. Nah, apa iya sekarang kami atau kamu harus menyesali nama yang begitu punya arti itu?”
Aku jadi tertegun mendengarkannya. Jadi namaku bukan sembarangan ya artinya? Ah, aku jadi menyesal waktu itu jika mengingat sikap dan pikiranku selama ini.
“Sekarang ganti mama yang tanya, kenapa hayo kamu selalu minder dan malu sama kekurangan kamu? Padahal, banyak lho kelebihan yang kamu punya. Demi mama, demi papa, dan juga demi kamu sendiri, mau nggak mulai sekarang kamu percaya diri? Dianggap lewat saja deh kalau ada orang yang mengolok-olok kamu…”
Aku kembali cuma bisa terdiam. Ah, ternyata ketika aku belum menunjukkan kekuranganku yang cadel itu, Mama dan Papa sudah menumpukan sebuah harapan besar untukku. Lalu, mengapa aku malah mengecewakan mereka dengan keterpurukanku pada kekuranganku itu saja?
Lalu seperti sebuah tumbukan yang mengandung pegas, walah, kok jadi ngomongin fisika ya, aku kemudian melesat meninggalkan seorang Riri yang dulunya memang malu karena cadel, menjadi seorang Riri yang tidak takut lagi untuk malu karena cadel!
Lantas aku berpikir, ah, memang benar kok, sebetulnya banyak kan bidang lain yang tidak memerlukan kelihaian untuk berbicara? Toh, model iklan di video klipnya Letto di lagu Sebelum Cahaya itu juga malah bisu dan tuli kok. Tapi dia bisa jadi model.
Sejak itu mulailah aku mencari bidang-bidang yang bisa aku geluti, yang aku sukai, yang bisa aku jadikan sebagai ajang untuk mengejar prestasi, dan bisa menjadi kebanggaanku tentunya!
Nggak bisa nyanyi karena cadel? Ya kenapa nggak aku main musik saja dengan belajar piano atau biola? Nggak bisa main teater? Ya kenapa nggak aku membuat cerita atau menjadi script writernya saja? Dan berkat dorongan Mama yang sejak aku kecil mengikutsertakan aku ke les ini itu, kini sewaktu aku SMA, aku jadi punya banyak kelebihan yang yah… tentunya lumayan membuatku serta kedua orangtuaku menjadi bangga!
Terus apa hidup kemudian akan menjadi indah tentram sentosa selamanya untukku? Ah, ternyata belum juga! Buktinya tetanggaku yang bernama Nana itu, masih saja dan rasanya, makin giat untuk membuatku tidak hidup dengan tenang.
Ketika aku mampu menguasai sebuah keahlian, ia pasti akan ikut-ikutan menekuninya juga. Saat aku mengikuti lomba ini itu, ia juga kemudian akan membuntuti apa yang aku lakukan.
Kesal? Ada juga sih rasa seperti itu, jelas! Tapi di balik itu, entah kenapa ada rasa bangga yang terselip di antara rasa tidak mengenakkan yang ada. Ada rasa bangga yang membuat aku jadi tidak lagi pusing memikirkan apa yang harus aku lakukan agar ia bisa kalah dariku atau menyingkir untuk tidak lagi membuntutiku.
Dan lihat saja, ternyata Nana justru sering kelelahan untuk mencoba mengikuti keberagaman aktivitasku. Atau ketika kami ada dalam satu kompetisi, Nana sering kebingungan untuk menemukan cara agar bisa mengalahkanku.
Hingga suatu ketika, aku begitu kasihan melihat Nana yang tampak keletihan. “Na, bisa nggak sih kita bedamai saja? Jadi teman?”
Waktu itu, aku melihatnya terduduk lesu di sebuah taman setelah kami usai sama-sama mengikuti kompetisi lomba memasak yang kami ikuti di lingkungan perumahan tempat kami tinggal. Tentunya lagi-lagi, kali ini ia tidak bisa menang dariku meski aku pun cuma berhasil mencapai juara kedua di lomba itu.
Dengan sorot mata seperti biasa yang tidak bersahabat, Nana menatapku tajam. “Apa? Kalau aku berdamai dengan kamu, yang ada aku akan selalu jadi orang nomor dua yang dilihat oleh orang lain!”
Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Na, apa yang aku bilang ini bukannya bohongan lho. Kamu lebih cantik dayi pada aku. Meski aku juga cantik sih…” kataku sambil tersenyum.
“Kamu bisa nyanyi dengan suaya yang medu. Aku nggak bisa Na.”
Nana yang awalnya membuang muka, kini lalu mencoba menatapku.
“Kamu bisa akting bagus. Aku nggak bisa Na.”
Nana terdiam seakan mencoba merenungi ucapanku. Dan aku tidak ingin menyerah untuk meyakinkan Nana waktu itu. “Na, semua oyang punya kelebihan masing-masing kok. Jika kita jadi sahabat, kamu nggak akan dianggap sebagai oyang nomo dua.”
Aku lalu duduk di samping Nana mencoba menggenggam tangannya. “Na, masing-masing dayi kita akan jadi oyang nomo satu kok. Pada bidang yang bebeda tentunya. Kamu bisa jadi bintang di bidang nyanyi dan akting, aku bisa jadi bintang di bidang musik dan membuat ceyita teate.”
Nana mengeratkan genggaman tangannya. “Sori Ri, aku memang pecundang selama ini. Aku selalu iri dengan dirimu.”

2 pm


Profile Personil 2PM, 2pm biodata – Seperti halnya group band Super Junior dan Girls Generation. 2PM juga salah satu group band ternama asal korea selatan, yang mayoritas penggemarnya adalah para ABG. Jumlah personil 2PM pada awalnya adalah 7 orang, namun pada September 2009, Jaebeom salah satu anggota 2PM mengeluarkan diri karena adanya kontroversi. Dan sekarang Personil 2PM Korean Boyband hanya 6 orang.
Angota-anggota Boyband 2PM merupakan hasil audisi yang dilakukan JYP Entertainment, dan menerima pelatihan keras dari JYPE. Hari-hari pelatihan keras yang diterima mereka dijadikan acara dokumenter pelatihan bintang baru Hot Blood Men yang ditayangkan Mnet (Televisi Kabel Korea Selatan dengan tayangan Musik dan hiburan). Anggota waktu itu berjumlah 13 orang. Pilihan pemirsa nantinya membuat 3 anggota dikeluarkan. Mereka kemudian dibagi menjadi 2AM yang menonjolkan kemampuan vokal dam 2PM yang menonjolkan kemampuan tari dan B-Boy akrobatik.
iodata, Profile Nichkhun 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Nichkhun Buck Horvejkul
Tanggal lahir : 24 Juni 1988
Posisi : vokalis Tak hanya di mata penggemar, di antara personel 2PM, ia dikenal paling pandai memainkan ekspresi wajah menggemaskan. Pada awal kemunculannya, Nickhun salah satu personel paling menarik perhatian. Wajah imut perpaduan China-Thailand cowok yang lahir dan besar di Amerika ini dan kemampuan berbahasa Korea yang masih minim bikin geregetan. Pemilik nama lengkap Nickhun Buck Horvejkul yang lahir pada 24 Juni 1988 ini ditemukan JYP di Amerika, saat cowok yang terdaftar sebagai warga negara Amerika ini ikut Korean Music Festival di Los Angeles. Kemampuan beradaptasi Nichkun yang baik di Korea membuatnya makin berkilau. Kemampuan bahasa Korea yang makin fasih menjadi jalan memperlancar kariernya. Tahun ini, pemilik julukan Prince Khun ini akan merambah dunia akting dengan menjadi pendukung film The Shining Diploma.

Biodata, Profile Taecyeon 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Ok Taecyeon
Tanggal lahir: 27 Desember 1988
Posisi: rapper utama Meski orang Korea asli, Taecyeon pernah berdomisili 7 tahun ke Bedford, Massachusetts. Pengalaman melanglang buana di negeri orang membuatnya menguasai empat bahasa: Korea, Inggris, Spanyol, China. Kelahiran 27 Desember 1988 ini pernah ikut acara audisi musik yang sama dengan Junho dan Chansung, Superstar Survival, namun menjadi kontestan pertama yang meninggalkan acara. Saat ikut audisi JYP di New York, sebenarnya ia berniat menjadi model atau aktor. Di tangan JYP, Taecyeon berhasil dilatih menjadi rapper keren di 2PM. Tapi keinginannya menjajal dunia akting terwujud. Ia dipercaya memerankan karakter Jungwoo di serial Cinderella’s Sister dengan lawan main Moon Geum Young. Lalu, apakah jadwal syuting Taecyeon mengganggu kegiatannya bersama 2PM? Jelas tidak. “Kami sudah mengatur jadwalnya dengan syuting Cinderella’s Sister selama hari kerja, dan kegiatan 2PM di akhir pekan,” kata perwakilan JYP.

Profile, Biodata Wooyoung 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Jang Wooyoung
Tanggal lahir: 30 April 1989
Posisi: vokalis utama Jang Wooyoung personel 2PM yang ditemukan JYP lewat audisi Mgoon. Ia mengalahkan sekitar 5.000 peserta dan keluar sebagai pemenang. Sebelum memulai debut di 2PM, Wooyoung pernah menggantikan TOP-nya Big Bang untuk menari bersama Yoobin Wonder Girl di acara MBC Music Awards. Ya, selain menjadi salah satu vokalis utama 2PM, Wooyoung menonjol dalam koreografi. Personel kelahiran 30 April 1989 ini pernah menjadi co-host acara SBS Inkigayo (bareng Taecyeon) dan acara talk show Win Win. Ketertarikannya mempelajari bahasa Inggris cukup besar. Konon, Wooyoung menambah satu kosa kata bahasa Inggris setiap hari. Dulu, saat Jae Bum masih bergabung, ia sering bertanya kepada Jae Bum, apakah pelafalan bahasa Inggrisnya sudah benar atau masih berantakan.

Biodata, Profile Junho 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Lee Junho
Tanggal lahir: 25 Januari 1990
Posisi: vokalis utama Jika Taecyon dan Chansung gagal di acara Superstar Survival pada 2006, Lee Junho keluar sebagai pemenangnya. Tapi siapa sangka, kemenangan itu tak lantas memudahkan jalan Junho. Ia nyaris putus asa saat mengikuti pelatihan di JYP Entertainment. Saat hadir di acara variety show SBS Strong Heart, ia curhat tentang pengalaman pahitnya awal menjalani pelatihan. Predikatnya sebagai pemenang audisi Superstar Survival justru membuat banyak peserta pelatihan lain menjauhi. Yang lebih menyakitkan, ia nyaris keluar dari JYP hanya karena postur tubuh yang dinilai kurang sempurna. Saat persiapan debut, personel dibagi dua kelompok: kelompok tinggi (Im Seulong, Ok Taecyeon, dan Hwang Changsung) dan kelompok pendek (Jae Bum dan Jo Kwon). “Tapi aku tidak bisa masuk ke grup mana pun dan keluar dari persyaratan,” kenang dia. Dukungan semangat dari sang bunda menguatkannya. Ia terus berusaha membuktikan kemampuannya. Dan terbukti, penyanyi yang disebut-sebut mirip Rain ini mampu memperkuat komposisi personel 2PM.

Profil, Biodata Chansung 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Hwang Chansung
Tanggal lahir: 11 Februari 1990
Posisi: vokalis, rapper Hwang Changsung vokalis dan rapper 2PM yang usianya paling muda. Tak seperti personel lain, ia memulai dunia keartisan lewat jalan akting. Serial Unstoppable High Kick menjadi debutnya. Meski bermodal pengalaman akting dan wajah ganteng tipikal idola remaja, penyanyi kelahiran 11 Februari 1990 ini harus dua kali audisi sampai JYP mencium potensinya. Selain paling muda, Changsung juga dikenal sebagai personel 2PM yang paling doyan makan dan pengendus aroma makanan. Changsung pernah diprotes habis para fans di Korea karena terlihat membuang sampah sembarangan saat muncul di sebuah reality show.

Biodata, Profile Junsu 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Kim Junsu
Tanggal lahir: 15 Januari 1988
Posisi: vokalis utama Ia lebih banyak berprestasi di lomba puisi dan menulis lagu. Namun bukan berarti kemampuan menyanyi kelahiran cowok 15 Januari 1988 ini tak bisa diandalkan. Andai tidak memilih masuk ke JYP Entertainment, ia mungkin akan jadi bagian dari grup Big Bang, bersama dua sahabatnya, Taeyang dan G-Dragon. Namun Junsu punya pertimbangan lain sehingga memilih bergabung dalam proyek JYP. Konon Junsu semula dipersiapkan untuk grup 2AM (mulanya personel 2AM dan 2PM sama-sama tergabung dalam grup One Day). Ia juga sudah melakukan latihan intensif selama enam bulan untuk persiapan debut 2AM. Namun entah mengapa pada akhirnya JYP bengubah keputusan dan memasukkan Junsu dalam 2PM.

Biodata, Profile Jaebeom Mantan Personil 2PM [Kembali ke atas]
Nama lengkap: Park Jaebeom / Jay Park
Tanggal lahir: 25 April 1987
Posisi: pemimpin, vokalis utama, rapper Jaebeom mengumumkan dirinya keluar dari 2PM pada September 2009, setelah adanya kontroversi mengenai komentar negatif yang dibuatnya mengenai Korea lima tahun yang lalu diketahui publik.

Profil Vierra

Vierra merupakan salah satu band yang cukup digandrungi oleh remaja Indonesia. Band ini diproduseri oleh produser handal yang pernah mensukseskan Peterpan, Nidji, & d’Masiv, Noey dan Capung, album perdana mereka dirilis pada Januari 2009, dengan single pertamanya “Dengarkan Curhatku”. Band ini mengaku beraliran musik penggabungan antara unsur pop & alternative, dan terinspirasi lagu lagu Disney/Powerpop/Emo. Berikut ini profil personil-personil Vierra :
Widy
Widy Vierra
Nama Lengkap: Widi Soediro Nichlany
Tempat /tanggal Lahir : Jakarta, 8 Mei 1990
Penyanyi Favorit : Demi Lovato
Posisi : Vokal
Widy mempunyai suara yang berkarakter vokal lembut dan manis dan membawa unsur pop yang dominan
Kevin
kevin vierra
Nama Lengkap : Kevin Aprilio Sumaatmaja
Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta, 7 April 1990
Makanan Kesukaan : Masakan Jepang
Posisi : Piano, Keyboard
Kevin Aprilio, adalah pendiri VIERRA. Pada awalnya nama band ini adalah Andante yang kemudian bermetamorfosis menjadi VIERRA di tahun 2008.
Raka
raka vierra
Nama :Raka CyriL Damar
tempat/tanggal lahir :Jakarta,16 Agustus 1989
Hobi : menggambar
warna kesukaan : biru
Posisi : Gitaris
Raka juga membantu dalam mengaransemen lagu-lagu Vierra. Dia berkuliah di UPH angkatan 2007, sama seperti Kevin.
Tryan

Nama : Satrianda Widjanarko
Tempat/tanggal lahir : Jakarta,28 Juni 1988
Hobi :membaca
Warna kesukaan : hijau dan merah
Posisi : Drumer
Mahasiswa UI fakultas Ilmu Politik, yang memberikan nama VIERRA dan juga mengaransemen banyak lagu Vierra.

Sabtu, 28 Januari 2012

Persahabatan yang hilang

Masuk tahun ajaran baru memang sangat menyenangkan bukan? apalagi kalau udah masuk sekolah yang tingkatnya lebih tinggi. Sekolah baru, teman baru, hal-hal baru, semua serba baru. Sungguh menyenangkan, aku sangat senang.
Perkenalkan, namaku Krita (nama samaran), umur 13 tahun sekarang udah kelas 1 SMP .Aku senang udah jadi anak SMP. Padahal rasanya baru kemarin aku masuk SD… hihihiii…

Aku masuk sekolah yang bisa dikatakan sekolah favorit dan cukup elite. Hampir semua anak murid disini yang pintar-pintar dan dari kalangan berkelas. Aku sempat sedikit kaget saat pertama kali datang ke sekolah ini.Beda banget dari SD ku yg bisa dikatakan sederhana. Sekolah ini luas banget !!! Walau kelas nya ngk bertingkat seperti gedung-gedung sekolah pada umumnya,tapi luasnya bukan main, lapangan nya.. wuihh.. mantap.. taman nya juga banyak bunga.. ckckckkckkk.
Yah begitu lah sekolah baru ku teman. EEiiit,, sekolah baru, udah ku kenalin kan? nah sekarang ku akan ceritakan tentang pertemuanku dengan sahabat di smp ku.. begini ceritanya.
Pertama masuk sekolah, di hari senin yang cerah. Aku mondar-mandir di depan toilet. Aku belum tau aku masuk kelas mana. Saat itu aku hanya sendirian ke sekolah karena orang tua nggak sempat nemenin aku. Iri juga sih ngelihat yg lainnya di dampingi orang tua, tapi ya sudahlah, ku kan bukan anak kecil lagi.
Setelah lama menunggu akhirnya guru membukakan pintu masuk kelas 7C sampai 7F. Semua orang berebutan pengen lihat, mereka pengen tau anak nya ada di kelas mana. Aku jadi sulit untuk melihat daftar nama yg di terima di kelas tersebut. Waktu udah sepi, dengan segera aku melihat dengan teliti.Hemmmm.. mana nama ku ya? Aha. mungkin di kelas 7D..atau 7E…atau mungkin 7F.. dengan segera ku beranjak pergi dan melihat satu persatu kertas pengumuman di masing-masing kelas.
Nama ku kok juga nggak ada? mana namaku? kok nggak ada? Tak berapa lama terdengar bahwa kelas 7A dan 7B telah di buka, aku segera berlari pergi meninggalkan klas 7f itu. Langkah kaki ku sempat terhenti di depan kelas 7C, sempet nggak yakin, apa mungkin aku masuk kelas itu? itu kan kelas anak-anak pinter. Masa sih aku? ah.. coba liat aja dulu deh.
Ha ?sampai-sampai di klas 7B juga nggak ada? tinggal satu kelas, kelas 7A? waah pikiran ku mulai kacau. Kelas A, kelas terkenal karena anak-anak murid terpintar di sana. Aku kan nggak pintar-pintar amat. Lihat aja deh.
Nafasku seakan hilang, detak jantungku berdebar-debar dengan kerasnya, air mataku mau tumpah. Sesak rasanya. Tiba-tiba Hp ku berdering, dari Ibu ku, “gimana,mbak? masuk kelas apa?”, rasanya tak dapat ku sebutkan tapi harus ku jawab.
“bu… Ita.. hiks…”. “Lho kok nangis?”, “Ita masuk kelas A bu “kataku sambil menangis bahagia, “alhamdulillah. selamat ya mbak” kata ibuku..
Hari yang membahagiakan.. Waktu lagi MOS, ku di ajak ngobrol dengan anak cewek, namanya Rena (nama samaran), baik banget anaknya, imut, badannya lebih kecil dari aku, dia temen pertama ku di SMP, dan dia temen sebangku pertama di SMP.
Karena kami udah begitu dekat kami pun udah jadi sahabat. Dia sahabat pertama di SMP, dia termasuk pintar di kelas. Aku sih kalah jauh dengan dia. Aku sempet minder dan ngerasa ngk pantas jadi sahabat dia, karena aku nggak pinter kayak dia, dan.. saat itulah ku dengar kata-kata yang terdengar indah di kupingku, “sahabat nggak di lihat dari kaya ato miskin, pintar ato ngk..itu nggak penting dalam persahabatan, kita hanya perlu saling percaya dan menjaga hubungan persahabatan kita.. dan kita juga harus dapat menerima sahabat apa adanya.. kita akan selalu tetep jadi sahabat”
Senang nya aku saat mendengar kata-katanya itu. Ku akhirnya tau arti sahabat itu sesungguhnya. Cukup banyak yang dapat ku pelajari dari kata-katanya untukku. Dia membuat ku kembali bersemangat menjalani hari-hariku. Terima kasih Rena.
Seiring berjalannya waktu, ku mendapatkan banyak sahabat, mereka bernama, Wini, Lila, Sisca (nama samaran).. kami menjadi 5 sahabat.. tapi, aku paling deketnya dengan Wini dan Rena. Saking akrab nya kami bertiga,kami sampai les di tempat les yg sama. Biar kompak gitu. hehehehhehehhhee. Kadang kami bertiga membeli barang yang sama.
Dan aku masih ingat, setiap hari jumat kami bertiga nonton film bareng di rumah Wini. Dan yang sangat ku ingat kami punya buku DIARY bersama-sama. Yaitu buku diary yang hanya kami bertiga yang menulis dan membacanya. Kami merasa sangat dekat karena DIARY itu. Seruu deh.
Setiap detik kebersamaan kami, aku selalu meresapinya, kehangatan yang takkan terlupakan, kehangatan nyata .. kasih sayang yang nyata.. bukan dari pacar ku.. atau orang yang sedarah dengan ku. Tak punya hubungan darah, sama sekali tidak. Tapi kehangatan yang tercipta dari persahbatan kami, benar-benar nyata. Dan rasanya, aku sama sekali nggak mau kehangatan ini berakhir. Nggak mau, sama sekali nggak mau.
Pada saat ulang tahun ku, aku nggak tau harus mengatakan apa. Entah hari terindah atau menyedihkan. Mau tau kenapa?
1. pada siang harinya ku merayakan ulang tahun ku bersama Wini, Rena, dan sisca. Terasa begitu menyenangkan. Dan lagi, Wini memberikan ku boneka yang di tangkapnya sendiri pada saat main di game center. Rena juga memberikan boneka hasil tangkapannya untukku, Rena bilang itu boneka kesayangannya, dan aku boleh memilikinya. Betapa bahagianya aku saat itu… mendapatkan boneka yang tak ternilai harganya dari sahabatku. Aku semakin sayang sama mereka.
2. Saat les, Wini bilang 3 hari setelah hari ulang tahun ku, dia akan berangkat ke Madiun. Karena papanya akan tugas di sana. Aku sedih banget dengarnya. Ingin nangis, tapi itu hanya akan buat Wini kebingungan dan khawatir. Aku nggak mau Winni jadi nggak tenang pergi ke Madiun. Nggak!!! Nggak boleh nangis, ayo tersenyum Krita!!! Kamu pasti bisa,” hehehehehe… Hati-hati di sana ya, bawa oleh-oleh kalau main ke sini lagi ya ,awas kalau kamu lupa ma aku. ku ulek-ulek ntar mukamu.. hehehhee” kataku sambil tersenyum bercanda. “ahahahhaa..wokee bos..sip!!!” dia pun tersenyum. Aku pun lega.
Saat hari terakhir, Aku, Rena, dan Wini menghabiskan waktu ke sekolah, melihat matahari terbenam di lapagan sekolah.. Makan burger di depan kelas 7C. Sambil bercerita. Sambil bercanda. Sambil mengucapkan pesan-pesan buat satu sama lain.
Untuk kenang-kenangan, kami foto bertiga dengan latar belakang matahari mulai terbenam. Setiap memandang foto itu, ingin sekali ku kembali pada saat itu. Saat beranjak pulang, Ku peluk Wini dengan erat, seakan takut dia hilang dari hadapanku saat itu. Seakan takut takkan bisa bertemu dangannya lagi.. takut ngk bisa lihat senyumannya lagi. Wini..please.. jangan tinggalkan aku. Aku mohon.
Kamu akan tetap jadi sahabat aku kan? iya kan Wini? Iya kan ?seakan bisa mendengar kata hatiku, Wini berkata, “tenang, kita akan selalu jadi sahabat kok, walau persahbatan kita terpisahkan. ok? pokoknya jangan nangis ya?”, aku hanya mengangguk.
Wini berangkat pukul 08.00, Aku dan Rena nggak sempat mengantar Wini pergi ke bandara, karena saat itu kami sedang sekolah. Tapi aku cukup senang sempat berbicara di telpon sebelum keberangkatan Wini. Rena menangis, ya itu pertama kali ku melihat Rena menangis. Dia nggak sanggup bicara dengan Wini di telpon, Rena sangat sedihh. Bukan nya aku nggak mau nangis saat Wini telpon, tapi karena Wini bilang agar aku nggak usah nangis. Kalau boleh jujur, aku malah sebenarnya bisa aja nangis lebih keras. Walau pertemuan ku dan Wini singkat, tapi rasanya kami sudah lama menjadi sahabat. Aku juga bingung kenapa bisa begitu ya? kenangan bersama Wini tak akan pernah aku lupakan. Sahabat yang berarti untukku…
Aku dan Rena sudah berjanji kepada Wini agar selalu bersama hingga kedatangan Wini nanti. Tapi tuhan berkehendak lain. Janji itu tak bisa di penuhi. Takkan pernah bisa lagi di penuhi.
Semenjak kepergian Wini, Rena sekarang lebih dekat dengan Sisca. Kadang jika aku berjalan bersama, aku seperti dianggap tak ada. Aku jadi bingung. Rena kenapa ya? kalau ku ajak bicara, dia seperti tak pedulikan ku sama sekali. Aku di acuhkan. Aku mulai merasa di jauhi sahabat ku Sendiri. Sahabat yang juga berarti buatku.
Sikap Rena kepadaku semakin manjadi-jadi, dia sering kirim s.a tentang kekesalan dia dengan seseorang, aku tau ,s.a dia untukku. Aku sadari itu. Aku coba tuk minta maaf. Dia pun mau memaafkan ku.
Tak berselang lama, Rena mengirimnya lagi, saat itu liburan panjang, kami tak bisa bertemu dan berbicara, hanya bisa sms san.Tapi dia tetap tampak masih kesal dengan ku. Aku salah apa? aku kenapa? kenapa kamu tega katakan itu? kita sahabat kan? kataku dalam hati … aku ingin menangis rasanya.
Ya Allah, Krita salah apa sama Rena? sampai Rena begitu marah sama Krita? Krita nggak ngerti.. Krita udah minta maaf.. tapi knapa Rena masih marah? apa yang harus Krita perbuat agar bisa tetap menjaga persahabtan Krita ini? bagaimana Krita bisa baikan dengan Rena?
Saat kebingungan ku itu, itulah akhir dari persahabatan ku dengan Rena.. Rena sudah memaafkan ku. Tapi, dia berkata sudah nggak bisa bersahabat dengan ku lagi. Saat menerima sms itu, tanganku bergetar hebat. Ku genggam erat handphone ku. Rena..Rena..Rena.. jangan lakukan itu.. aku masih ingin jadi sahbat mu.. kita akan selalu bersama bukan? iyakan Rena?? itu kan katamu? RREEEENAAAA!! !jangan tinggalkan aku…
“Iya nggak apa-apa.. makasih ya udah maafin aku.. makasih buat semua nya Ren.. met malem”, ya itu jawaban dari ku. Aku udah nggak sanggup.
10 menit setelah ku balas sms Rena, ku menelpon Winni, ”Winni,maafin aku.. aku dan Rena udah bukan sahabta lgi. Kami bertengkar. Maafin aku Wini, ini semua salah aku.. salah aku yang nggak bisa jaga persahabatan.. salah aku yang nggak pernah mengerti kamu dan Rena,, salahku…”, aku sudah nggak ingat lagi apa yang ku katakan saat itu, yang ku ingat hanya tangisanku dan suara Wini yang mencoba menenangkan ku.
Hari pun berganti… kenangan masa lalu yang takkan ku lupakan ..
Sekarang aku sudah punya sahabat baru dan begitupun Rena..
Walau persahabatan kita hilang, tapi bagiku Rena masih sahabat ku..
Buat Rena: andai kamu baca cerita ini, apa perasaanmu? apa yg kamu rasakan? maaf jika kamu marah.. tapi aku hanya ingin mengatakan hal yang sejujurnya..
Buat Winy: kamu selalu sejukkan hatiku, selalu ada saat aku butuhkan kamu, walau kita nggak bisa bertemu.. kita akan tetap jadi sahabat. .aku selalu menunggu kedatanganmu, selalu ku tunggu.. akan ku jaga persahabatan kita berdua.
Aku sayang Rena dan Wini seperti saudara ku sendiri. Begitu juga sahabat ku yang lain.. I love you my best friend.