Senin, 30 Januari 2012

Riri atau Yiyi

“Perkenalkan, nama saya Yina Matha. Panggil saja Yiyi. Maaf, ejaannya dengan huruf…,” aku lalu membentuk huruf R dengan kedua tanganku.
Mataku menyapu ke arah teman-teman di kelas tingkat awal di SMA yang merupakan kelas baruku tersebut. Tampaknya, mereka mulai kebingungan dengan caraku memperkenalkan diri. Aku tersenyum lebar, bergegas mengambil spidol, dan menuliskan kata RIRI dan RINA MARTHA besar-besar di bidang white board.
“Ooo…” koor serempak dari seisi kelas mulai terdengar. Sedikit kasak kusuk pun sempat mampir di telingaku ketika aku kembali ke bangku tempatku duduk.
“Eh, dia cadel ya?”
“Iya, cantik sih anaknya. Tapi kok cadel ya? Hihihi…”
“Psst… keras banget sih ngomongnya! Kasihan, nanti dia dengar lho!” timpal yang lain.
Aku cuma tersenyum ringan. Buatku, apa yang baru saja aku alami di kelas baruku dalam sesi perkenalan siswa baru itu kini sudah bisa membuatku bereaksi biasa. Juga sudah sama biasanya ketika ada teman-teman yang mengolok-olok dengan terang-terangan. Sudah kebal deh sepertinya rasa kuping dan hatiku ini. Misalnya seperti ini nih dulu yang aku alami sewaktu SMP…
“Tayi, denga-denga kamu lagi pacayan sama Yadit ya?”
“Iih… kok ngomong jorok sih? Nama bagus-bagus Tari kok jadi dipanggil begitu?”
“Iya nih, udah gede kok masih cadel!”
“Coba diulang! Bilangnya begini nih, Tarri, dengarr-dengarr kamu lagi pacarran sama Rradit ya? Gitu dong bilangnya…” timpal temanku yang lain tak mau kalah mengolok-olok dengan menekankan setiap huruf R yang diucapkannya.
Kalau urusan diejek seperti itu, seperti ketika aku duduk di bangku SD atau SMP dulu, bisa dibilang aku sudah cukup kebal. Tapi ada masanya juga lho dulu kadang aku bisa nangis sejadi-jadinya kalau harus mendengar ejekan nggak mengenakkan dari teman-temanku yang kebanyakan lebih suka menertawakan kekuranganku daripada menerima kondisiku.
Pernah suatu ketika pas SMP, guruku sedang mengadakan audisi untuk mencari siapa di antara kami yang duduk di kelas dua waktu itu, yang bisa mewakili sekolah untuk mengikuti lomba puisi di tingkat daerah.
Pas guru bahasa Indonesiaku masuk ke dalam kelas, teman-teman sudah langsung mendahului dengan mengatakan seperti ini, “Wah, audisi ini kayaknya punya perkecualian nih! Rrirri… karrena kamu kan pastinya nggak bisa memenangkan audisi, lebih baik sekarrang, kamu menyaksikan kami saja deh yang akan ikut audisi. Gimana?” ujar seorang temanku dengan nada bercanda namun cukup menusuk hatiku.
Senyum tipis aku tunjukkan di antara tumpahan air yang berdesakan ingin keluar dari mataku. Ah, itulah setidaknya sedikit dari sekian pengalaman yang masih aku simpan kesan rasa sakitnya.
Dulu, jika ingat masa-masa sewaktu aku kecil, ketika umurku sudah menginjak empat tahun, aku atau orangtuaku masih bisa santai-santai saja ketika aku belum bisa melafalkan huruf R dengan jelas.
Tapi waktu aku sudah berumur tujuh tahun, saat orangtuaku mulai memasukkan aku ke SD, kepanikan kami pun mulai terjadi. Yang aku sempat rasakan, orangtuaku waktu itu agak malu dengan kekurangan putri satu-satunya itu.
Tapi seiring waktu, yang aku lupa tepatnya kapan, sepertinya mereka jadi sering mengikutsertakan aku ke berbagai kegiatan ini itu. Les menari, les melukis, les biola, sampai berbagai macam les lainnya yang aku sendiri sampai lupa. Habisnya, banyak banget lesnya!
Tentu saja dari sekian banyak les tersebut, orangtuaku tidak akan mengarahkan aku untuk ikut les yang mengandalkan kemampuan bicaraku. Les paduan suara atau les teater misalnya. Ya begitulah, karena aku cadel!
Meskipun akhirnya ada beberapa les yang aku tekuni, hingga membuat aku bisa menguasai beberapa keahlian, tetap saja aku sering minder.
Misalnya nih kalau sekolahku mengikutsertakan aku ke berbagai lomba atau acara, meski awalnya Pe-De, tetap saja kalau akhirnya ada urusan cuap-cuap, aku langsung ketakutan setengah mati. Rasanya takut sekali kalau sampai ada orang yang tahu aku cadel terus mengolok-olokku habis-habisan.
Ada lagi nih cerita yang menyedihkan yaitu ketika aku duduk di bangku SMP. Ceritanya, ada tetanggaku yang punya anak cewek sebayaku dan entah kenapa, ia selalu suka mengolok-olokku habis-habisan. Kebetulan, Nana, nama anak cewek itu, selalu bisa satu sekolah denganku. Dan dari dialah, orang-orang di seantero sekolah akhirnya selalu tahu kalau aku ini cadel. Kayaknya dia nggak puas banget deh kalau cuma orang sekelas saja atau beberapa orang saja yang tahu kalau aku ini cadel.
Usut punya usut, ternyata dia iri dengan beberapa kelebihan yang aku miliki. Anaknya sih sebetulnya cantik. Meski aku juga cantik, itu kata teman-teman lho! Tapi aku akui, tetanggaku ini memang sedikit lebih cantik dari aku.
Yah, apa mungkin nggak semua orang yang diberi kelebihan selalu mensyukurinya ya? Jadi ternyata menurut beberapa temanku, Nana itu selalu tidak terima ketika sekolah kami sering memilih aku untuk maju mewakili lomba atau acara ini itu di luar sekolah.
Oke deh, untuk urusan sering memberitahu ke seantero sekolah kalau aku itu cadel masih bisa aku terima. Hiks, meskipun rasanya kok tega banget sih! Tapi, pernah suatu ketika ia membeli seekor anjing yang kemudian diberi nama… Yiyi!
Ih, rasanya sengaja menghina banget kan nih orang?! Masa, ketika jalan-jalan di taman komplek, dia memanggil keras-keras nama anjingnya itu. “Yiyi… yiyi…”
Aku yang awalnya belum tahu kalau nama anjingnya itu Yiyi, kontan waktu itu menjawab dengan “Hai, ada apa…” Yah, aku pikir si tetangga ini memang sengaja memanggilku karena yang aku tahu, ia memang sering sengaja memanggilku yang kadang dengan maksud setengah mengejek, memanggilku dengan nama cadelku.
Tapi ketika aku sudah menyahut, eh… dengan enaknya ia langsung menjawab, “Oh sori ya, aku sedang memanggil anjingku. Uhm, namamu bukannya Rrirri? Bukan Yiyi, kan? Kenapa menyahut?” jawabnya tanpa berdosa. Apalagi ketika dilihatnya orang-orang di sekitar kami yang menyadari kelucuan dari kejadian itu pun jadi ikut-ikutan menertawakan diriku.
Akhirnya sepulang dari taman, aku yang sudah tidak kuat menahan sekian lama berbagai penderitaan dan penghinaan yang aku alami, ehem, sedikit didramatisir, kemudian mengadu dan protes kepada mama.
“Mama, kenapa sih Yiyi dulu waktu kecil nggak dipaksa suka makan pedas. Sekayang kayak begini nih jadinya. Hu hu hu…” aduku sambil menangis tersedu-sedu.
“Sayang, mama sudah pernah mencoba memeriksakan Riri ke dokter dulu sewaktu kecil. Kata dokter, ada kelainan ukuran lidah Riri yang membuat Riri jadinya cadel sampai sekarang. Jadi, itu bukan karena Riri nggak suka makan pedas kok.”
Aku masih cemberut tidak terima. “Oke deh, tapi teyus kenapa sih Yiyi kok dulu dikasih nama Yiyi. Ini benar-benar menyulitkan Yiyi sendiyi jadinya. Masa manggil nama sendiyi saja susah?!”
Mama sejenak menghela nafas. “Aduh maaf ya Ri, padahal mama dan papa dulu memberikan namamu itu karena ada artinya lho, nggak sembarangan. Jadi mana tahu kalau ternyata jadinya seperti ini sekarang,” mama jadi salah tingkah menghadapiku.
Seketika aku langsung menghentikan tangisku. Jujur, seumur-umur hingga aku duduk di bangku SMP waktu itu, aku belum tahu arti namaku sendiri itu apa.
Mama pun dengan lemah lembut mencoba menjelaskan apa yang dulu pernah menjadi harapannya dengan papa atas diriku, sekarang dan nanti. “Rina itu kalau dalam bahasa Jawa artinya hari, dan Martha itu artinya yang berkuasa. Karena papa dan mama dulu susah punya anak, sekalinya ada kamu, ya kami merasa seperti ada kekuasaan Tuhan yang tiba-tiba memberikan kamu kepada kami. Nah, apa iya sekarang kami atau kamu harus menyesali nama yang begitu punya arti itu?”
Aku jadi tertegun mendengarkannya. Jadi namaku bukan sembarangan ya artinya? Ah, aku jadi menyesal waktu itu jika mengingat sikap dan pikiranku selama ini.
“Sekarang ganti mama yang tanya, kenapa hayo kamu selalu minder dan malu sama kekurangan kamu? Padahal, banyak lho kelebihan yang kamu punya. Demi mama, demi papa, dan juga demi kamu sendiri, mau nggak mulai sekarang kamu percaya diri? Dianggap lewat saja deh kalau ada orang yang mengolok-olok kamu…”
Aku kembali cuma bisa terdiam. Ah, ternyata ketika aku belum menunjukkan kekuranganku yang cadel itu, Mama dan Papa sudah menumpukan sebuah harapan besar untukku. Lalu, mengapa aku malah mengecewakan mereka dengan keterpurukanku pada kekuranganku itu saja?
Lalu seperti sebuah tumbukan yang mengandung pegas, walah, kok jadi ngomongin fisika ya, aku kemudian melesat meninggalkan seorang Riri yang dulunya memang malu karena cadel, menjadi seorang Riri yang tidak takut lagi untuk malu karena cadel!
Lantas aku berpikir, ah, memang benar kok, sebetulnya banyak kan bidang lain yang tidak memerlukan kelihaian untuk berbicara? Toh, model iklan di video klipnya Letto di lagu Sebelum Cahaya itu juga malah bisu dan tuli kok. Tapi dia bisa jadi model.
Sejak itu mulailah aku mencari bidang-bidang yang bisa aku geluti, yang aku sukai, yang bisa aku jadikan sebagai ajang untuk mengejar prestasi, dan bisa menjadi kebanggaanku tentunya!
Nggak bisa nyanyi karena cadel? Ya kenapa nggak aku main musik saja dengan belajar piano atau biola? Nggak bisa main teater? Ya kenapa nggak aku membuat cerita atau menjadi script writernya saja? Dan berkat dorongan Mama yang sejak aku kecil mengikutsertakan aku ke les ini itu, kini sewaktu aku SMA, aku jadi punya banyak kelebihan yang yah… tentunya lumayan membuatku serta kedua orangtuaku menjadi bangga!
Terus apa hidup kemudian akan menjadi indah tentram sentosa selamanya untukku? Ah, ternyata belum juga! Buktinya tetanggaku yang bernama Nana itu, masih saja dan rasanya, makin giat untuk membuatku tidak hidup dengan tenang.
Ketika aku mampu menguasai sebuah keahlian, ia pasti akan ikut-ikutan menekuninya juga. Saat aku mengikuti lomba ini itu, ia juga kemudian akan membuntuti apa yang aku lakukan.
Kesal? Ada juga sih rasa seperti itu, jelas! Tapi di balik itu, entah kenapa ada rasa bangga yang terselip di antara rasa tidak mengenakkan yang ada. Ada rasa bangga yang membuat aku jadi tidak lagi pusing memikirkan apa yang harus aku lakukan agar ia bisa kalah dariku atau menyingkir untuk tidak lagi membuntutiku.
Dan lihat saja, ternyata Nana justru sering kelelahan untuk mencoba mengikuti keberagaman aktivitasku. Atau ketika kami ada dalam satu kompetisi, Nana sering kebingungan untuk menemukan cara agar bisa mengalahkanku.
Hingga suatu ketika, aku begitu kasihan melihat Nana yang tampak keletihan. “Na, bisa nggak sih kita bedamai saja? Jadi teman?”
Waktu itu, aku melihatnya terduduk lesu di sebuah taman setelah kami usai sama-sama mengikuti kompetisi lomba memasak yang kami ikuti di lingkungan perumahan tempat kami tinggal. Tentunya lagi-lagi, kali ini ia tidak bisa menang dariku meski aku pun cuma berhasil mencapai juara kedua di lomba itu.
Dengan sorot mata seperti biasa yang tidak bersahabat, Nana menatapku tajam. “Apa? Kalau aku berdamai dengan kamu, yang ada aku akan selalu jadi orang nomor dua yang dilihat oleh orang lain!”
Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Na, apa yang aku bilang ini bukannya bohongan lho. Kamu lebih cantik dayi pada aku. Meski aku juga cantik sih…” kataku sambil tersenyum.
“Kamu bisa nyanyi dengan suaya yang medu. Aku nggak bisa Na.”
Nana yang awalnya membuang muka, kini lalu mencoba menatapku.
“Kamu bisa akting bagus. Aku nggak bisa Na.”
Nana terdiam seakan mencoba merenungi ucapanku. Dan aku tidak ingin menyerah untuk meyakinkan Nana waktu itu. “Na, semua oyang punya kelebihan masing-masing kok. Jika kita jadi sahabat, kamu nggak akan dianggap sebagai oyang nomo dua.”
Aku lalu duduk di samping Nana mencoba menggenggam tangannya. “Na, masing-masing dayi kita akan jadi oyang nomo satu kok. Pada bidang yang bebeda tentunya. Kamu bisa jadi bintang di bidang nyanyi dan akting, aku bisa jadi bintang di bidang musik dan membuat ceyita teate.”
Nana mengeratkan genggaman tangannya. “Sori Ri, aku memang pecundang selama ini. Aku selalu iri dengan dirimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar