Rabu, 01 Februari 2012

Sebuah kotak musik

Hari demi hari kulewati untuk menunggu dia. Aku selalu berlari keluar setiap kali mendengar langkah kaki seseorang.Terakhir kali perjumpaanku dengan dia adalah ketika dia mencium keningku lalu pergi meninggalkanku untuk pergi ke Yogya karena dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah musik di sana. Itulah yang menjadi hari terakhir aku dengan dia. Semenjak itu aku pun tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Akankah masih bisa kulewati lagi masa-masa itu, setelah 50 tahun lamanya sudah lewat masa-masa bahagiaku dengan dia.
Semenjak itu aku tidak pernah mau untuk menerima lamaran pria manapun, karena aku percaya dengan janji-nya untuk segera menikahiku. Seiring berlalunya waktu, aku tahu jika mungkin dia tidak akan pernah kembali lagi, menemaniku dan berada di sisiku. Tapi aku percaya adanya sebuah harapan, karena itu aku terus menunggunya sambil mengadopsi seorang anak perempuan.
Anak perempuanku memberikanku seorang cucu dan sekarang anakku itu pergi ke Jerman menyusul suaminya. Sekarang aku adalah seorang tua yang sudah tidak berdaya duduk di atas kursi roda, sambil menikmati hari-hari tuaku ditemani oleh Rita, cucu tersayangku, yang masih belia umurnya.
“Rita……Rita!”panggilku dengan nada parau.
“Iya Nek, kenapa?” tanya Rita.
“Rit, tolong bawa Nenek ke depan. Nenek mendengar suara langkah kaki orang di teras depan, Nak.”
“Baik, Nek, ” jawab Rita dengan nada menurut.
Saat tiba di depan pintu dan membuka pintu, Rita segera mendorong kursi rodaku keluar melewati tanaman-tanaman yang berjejer di sekitar teras rumah. Hampa memang rasanya, setiap saat, waktu, dan detik, tetap, dan mungkin selamanya aku memang tidak akan mungkin lagi melihat dirinya yang selalu tersenyum dan memperlihatkan seulas senyuman yang selalu menggetarkan hatiku. Kenangan itu tidak akan pernah terhapus di otakku dan mungkin akan selamanya terkenang lewat sebuah kotak musik, pemberian terakhir darinya.
“Nek, buat apa Nenek masih mengharapkannya? Dia sudah tidak akan pernah kembali, Nek,” ujar Rita.
“Rit, Nenek percaya dengan adanya suatu harapan, mungkin dia akan menemui Nenek kembali ke sini,” bantahku.
“Iya, tapi ini sudah 50 tahun berlalu Nek, bahkan sejak jaman perang dulu, saat Nenek mengenal dia.”
Jaman perang dulu. Deggg, serasa membuka kembali luka lama.
Baiklah aku akan memberitahukan masa-masa mudaku dulu, jaman ketika aku merasakan saat-saat  indahku dengan dia dan mungkin saat itu merupakan masa yang membuat miris. Peperangan yang tiada henti karena pasukan Jepang berusaha menguasai Indonesia, tanah tercintaku ini.
50 tahun yang lalu
Saat ini usiaku baru 20 tahun dan masa-masa ini merupakan saat yang mengharukan sekaligus membuat hatiku berdebar-debar karena cinta yang kupendam lamanya selama 3 tahun oleh seseorang laki-laki bernama Fardhan, teman masa kecilku itu, tidaklah hanya sebuah harapan yang sia-sia, bahwa ternyata dia juga menyukai aku.
“Lastri……Tri…,” panggil seorang laki-laki tampan yang berlari-lari berusaha mengejarku.
“Iya, kenapa Han?” tanya aku yang kebingungan melihat dia.
“Ehmm, ntar kamu datang yah ke tempat rahasia kita, ada yang mau aku omongin sama kamu. Datang yah jam 7 malam. Hehe, jangan lupa loh.”
“Ehhhh, tunggu…”
Tanpa aku sempat mengiyakan ajakannya, Fardhan sudah berlari meninggalkan aku yang kebingungan. Entah mengapa aku merasakan rasa senang, karena tidak biasanya seorang Fardhan mengajak aku pergi apalagi malam-malam begini dan cuma berdua pula. Pasti ada sesuatu yang ingin dia ucapkan nanti, suatu ucapan yang mungkin sangat rahasia dan juga mungkin saja kata-kata yang sudah aku tunggu selama ini. Semoga saja.
* * *
Akhirnya tibalah waktunya bagi aku untuk bertemu dengan Fardhan. Sebelumnya aku berusaha tampil secantik mungkin, karena selama ini aku tidak pernah berdandan untuk dia. Jadi menurut aku tidaklah salah untuk tampil cantik hari ini apalagi di depan orang yang aku sukai.
Rawa yang dulu kita temukan sebagai tempat berkumpulnya kunang-kunang di waktu malam, adalah suatu tempat yang tidak pernah terlupakan dan bahkan tempat itu sebagai tempat bermain kita sejak kecil dulu. Etah mengapa sekarang aku tidak pernah lagi melihat kunang-kunang indah itu. Ingin rasanya bisa melihat keindahan makhluk-makhluk itu di malam hari, itulah keinginanku.
Aku pun tiba di rawa tersebut. Kulihat Fardhan duduk di antara rerumputan bunga-bunga liar dekat jembatan rawa tersebut. Malam hari begitu indah, meski terasa gelap, tetapi cahaya lilin di skitar tempat itu benar-benar membuat malam itu terasa sangat indah.
“Hai Fardhan,” sapa aku.
“Hai Lastri, sini duduk di samping aku. Lihat deh pemandangan di sini benar-benar indah yah.”
“Iya, indah banget. Aku jadi inget pas kita kecil dulu Han, pas kamu dikejer-kejer oleh Bapak gara-gara ngambil sandal Bapak. Kamu ngumpet di sini kan, terus kamu lempar sandal Bapak ke rawa. Terpaksa deh, nyari berdua di rawa itu. Gara-gara kamu, aku juga kena. Haha,” ujar aku sambil tertawa geli.
“Hahahaha, iya juga yah, tapi gara-gara itu kita jadi bisa lihat kunang-kunang kan,” bela Fardhan.
“Iya sih, saat itu aku bener-bener terkesima loh melihat makhluk seindah itu. Kapan yah kita bisa lihat lagi berdua seperti dulu waktu kita kecil.”
“Kamu pikir aku ngajak kamu kesini buat apa, Tri?”
“Hah, emangnya buat apa?” tanya aku polos.
“Yah untuk kembali ke masa kecil kita dulu, saat kita ngelihat kunang-kunang berdua,tapi sebelumnya ada yang mau aku sampaiin, Tri.”
“Apa itu, Han?”tanya aku sedikit bingung.
“Tri, sebenernya sejak dulu aku sudah menaruh perhatian sama kamu, layaknya cinta memang tidak bisa dipaksakan, tapi cintaku ini tulus dari lubuk hatiku. Cinta seumpama seperti alunan musik yang indah, tanpa perasaan ketika memainkannya hanyalah menjadikan musik itu mati, tapi dengan cinta menjadikan lagu itu begitu indah. Cuma satu kata yang aku ingin ucapkan sama kamu, Lastri, aku sayang kamu,”ujar Fardhan dengan mata yang menyiratkan cinta dan harapan.
“Hahhh, ternyata selama ini perasaan kita sama, Han. Aku juga sayang sama kamu, bahkan sejak 3 tahun lalu aku selalu memendam perasaan ini. Rindu yang sangat menyiksa, dan juga sakit karena rasanya mengharapkan cinta yang tidak terbalas. Tapi aku bersyukur ternyata hari ini perasaanku terbalas,” jelas aku menahan haru.
Setelah itu kami pun berpelukkan. Aku tak menyangka perasaanku terbalas apalagi setelah itu aku semakin terkejut karena masa-masa kecil dulu saat kami berdua melihat kunang-kunang seakan kembali lagi, bahkan saat ini kunang-kunang itu menjadi lebih indah. Sambil berpelukan Fardhan membisikkan sebuah kata,
”Lastri, kunang-kunang ini seperti kamu yang selalu memberikan sinar di hati aku, selamanya hanyalah jadi kunang-kunangku seorang.”
Saat itu akupun hanya bisa tersenyum dan bahagia karena semua keinginanku terkabul pada hari itu, hari yang spesial bagi hidup aku.
* * *
Tak terasa lamanya, masa perang di jamanku ini, apalagi ketika Bapak harus pergi untuk menjalankan kewajibannya sebagai pembela tanah air. Ibuku sudah lama meninggal ketika melahirkanku, karena itu aku sangat takut jika harus kehilangan Bapakku juga.
“Tri, jaga rumah yah, Bapak pasti kembali,” ujar Bapak sebelum pergi.
Itu adalah kata-kata Bapak untuk terakhir kalinya. Entah mengapa aku tidak bisa menitikkan air mata di depan Bapak. Saat itu aku teringat pesan Bapak dulu agar selalu tersenyum ketika melepas kepergian seseorang, karena mungkin saja senyum itu adalah senyum terakhir yang akan dilihat sehingga dengan begitu orang itu bisa pergi dengan tenang dan akan terus mengingat senyum orang yang dikasihinya.
* * *
Sudah lamanya aku menunggu Bapak, tapi tidak pernah ada kabar dari Bapak. Suatu hari Fardhan menemui aku. Dengan muka termenung dia memberikan aku sebuah surat.
“Tri, surat ini dari pusat, memberitahukan kalo Bapakk…Bapak… Ahh, aku nggak bisa ngasih tahu hal ini, Tri.”
“Bapak kenapa, Han?” Aku mulai menjerit.
“Bapak meninggal Tri, Bapak tertembak oleh pasukan Jepang,” ujar Fardhan menahan haru.
“Apaaaaaa? Bapakkk… Nggak mungkin, kamu bohong kan?” bantah aku dengan pandangan tidak percaya.
Setelah itu aku merasa pandanganku menjadi gelap. Bapak, orang yang aku punya satu-satunya telah pergi dari hidupku.
Semenjak itu setiap hari berturut-turut aku tidak pernah bisa berhenti menangis, yang kupikirkan hanya Bapak saja. Fardhan pun berusaha menenangkan aku.
“Tri, kamu jangan sedih, meski di dunia ini kamu merasa sendiri, tenang saja aku akan selalu di sisi kamu. Hidup itu pasti ada akhirnya. Apa yang telah dibuat oleh Yang Maha Kuasa pasti semua akan berpulang padanya. Selalu jadilah terang, Tri, layaknya kunang-kunang yang selalu bersinar di malam hari, karena dengan begitu kamu bisa melupakan kesedihan kamu dan menjadi tegar. Jadi janganlah bersedih, ayo tersenyum,” ujar Fardhan berusaha menenangkan aku.
Aku pun tersenyum. Cuma sebuah rasa terima kasihku kepada Tuhan karena dia telah memberikanku seorang spesial, yang menemani aku ketika aku sedang menangis,dan bisa menjadikanku seorang yang kuat dan tegar.
* * *
Dua tahun kemudian.
Aku mendapatkan kabar yang mengejutkan sekaligus menyenangkan, karena Fardhan mendapatkan beasiswa di Yogya untuk melanjutkan sekolah musiknya di sana. Menyenangkan sekaligus membuatku tidak tenang karena perang masih berlanjut dan belum usai. Aku cuma takut kehilangan dirinya. Aku tidak ingin lagi kehilangan orang yang aku cintai. Setelah bapak pergi apakah aku masih sanggup hidup setelah ditinggal Fardhan.
“Tri, saat aku pulang nanti, kamu siap-siap yah, karena aku akan segera mempersuntingmu,” janji Fardhan padaku sebelum kepergiannya.
“Baik, tapi janji yah kamu kembali,” ujar aku dengan nada cemas.
“Aku janji!”
Setelah berkata begitu, Fardhan pun mencium keningku, lalu dia pun pergi. Hanya punggung belakangnya yang masih aku ingat saat itu. Semoga Tuhan tidak mengambil dia dari sisiku. Hanya itu permohonanku di saat keberangkatannya.
Setahun lamanya aku menunggu dia. Setiap kali ada orang yang lewat di depan teras rumahku, aku selalu melesat keluar, berharap itu adalah Fardhan. Tapi itu hanyalah harapanku semata. Aku hanya bisa pasrah dan terus mempersiapkan diriku sebelum dia datang dan mempersuntingku.
Waktu sudah berlalu dan sudah genap dua tahun. Suatu ketika aku mendengar kabar adanya peristiwa pemboman, yang menewaskan beribu-ribu orang. Betapa terkejutnya aku bahwa ternyata Yogya juga menjadi tempat pemboman itu. Aku cuma berharap Fardhan tidak kenapa-kenapa, dan berdoa diiringi isakkan tangisanku.
Pagi-pagi sekali, tiba-tiba ku mendengar suara pintu rumahku diketuk, akupun terperanjat. Dengan muka berharap bahwa itu Fardhan. Aku pun segera membuka pintu. Tetapi aku menghadapi harapan itu sirna, karena bukan Fardhan yang datang menemui aku.
“Anda, Nona Lastri?” tanya orang asing yang tidak kukenal.
“Iya. Kenapa yah, Pak?” tanyaku curiga.
“Ini Non, saya mau menyampaikan berita duka, bahwa sekolah musik di Yogya roboh karena pemboman. Jasad Fardhan tidak ditemukan, cuma sepucuk surat dan bingkisan ini yang saya temukan di lokasi reruntuhan sekolah musik tersebut. Dan tertulis dengan jelas nama dan alamat Non. Saya pikir ini adalah milik Non. Maaf Non, cuma ini yang bisa saya bantu. Saya turut berduka cita,“ ujar seorang asing yang tidak kukenal sambil mengangkat topinya dengan nada yang sarat dengan kesedihan.
Setelah mendengar berita itu sekejap aku merasakan kepedihan yang amat sangat. Kenapa seolah hidup ini begitu kejam. Aku kehilangan semua orang yang aku cintai. Apakah aku tidak pantas bahagia? Apakah lebih baik aku meninggalkan dunia ini juga? Aku pun terisak. Sesaat aku merasakan gelap yang hampa,sepi dan kehilangan.
Aku pun segera membaca sepucuk surat dari Fardhan.
Untuk: Lastri sayangku
Lastri,aku berharap surat ini sampai sebelum hari ulang tahunmu. Aku cuma ingin agar kamu bisa menjadi wanita yang kuat dan tegar. Setiap kenangan pasti akan menyisakan kepedihan dan juga sirat kebahagiaan. Janganlah kamu hilangkan kenangan yang penuh dengan rasa pedih, karena justru dengan kenangan itu, kamu akan bisa menjadi seorang yang kuat. Suatu saat nanti kamu pun akan bisa tersenyum bahagia karena pasti akan tiba masa-masa indah untukmu. Aku ingin sekali pergi ke tempatmu Tri, tapi aku tidak bisa mengatakan bahwa tempat ini sudah dikepung oleh Jepang dan mungkin aku tidak bisa kembali ke sisimu, maafkan aku. Tapi di saat ulang tahunmu aku  akan mengirimkan sebuah hadiah untukmu, sebuah kotak musik, karena lewat kotak musik itu kuberikan cinta dan musik yang khusus kubuat untuk kamu agar kamu selalu tersenyum. Aku menyayangimu.
N.B: jadilah wanita tegar yang selalu tersenyum
Dari: Fardhanyang selalu tulus mencintaimu
 * * *
Kembali ke 50 tahun setelahnya.
Kotak musik indah beserta surat yang dia kirimkan untukku menjadi sebuah semangat bagi aku untuk tidak menangis setelah kepergiannya. Meski bertahun-tahun aku masih belum bisa menerima kenyataan itu, tapi sekarang aku yakin Tuhan pasti akan menjanjikan hari yang indah bagi hidupku.
“Nek, bukankah dia sudah tiada? Apa Nenek masih mengharapkannya? Bagaimana bisa, Nek?” tanya Rita.
“Nenek tahu dia t’lah tiada. Nenek cuma mengharapkannya, mungkin saja dia masih hidup. Apakah kita tidak boleh percaya pada suatu harapan?” jelasku, meski kutahu bahwa dia tidak akan pernah kembali.
“Iya Nek, Rita tahu. Tapi selama 50 tahun dia tidak pernah kembali kan? Lagi pula hari ini bukankah Nenek berulang tahun?”
“Oh iya, Nenek lupa. Rit,tolong bawa Nenek ke suatu tempat. Sebelum saatnya tiba, Nenek ingin ke sana,” pinta aku.
Rita pun membawaku ke suatu tempat, tempat yang sarat akan kenangan karena di tempat inilah, akhirnya cintaku terbalas, dan akhirnya aku bisa melihat kunang-kunang bersama dengan Fardhan. Bahkan masih kuingat bisikan Fardhan di telingaku,
”Tri, selamanya jadilah kunang-kunangku seorang.”
Sebuah kata yang masih kuingat sampai sekarang, menyisakan sesirat kenangan manis beserta dengan kotak musik yang kuterima darinya telah membuat aku untuk selalu tersenyum. Terima kasih Fardhan karena kamu telah hadir dalam hidupku.
Sesaat aku melihat Fardhan di depanku. Sambil tersenyum dia berkata,
”Tri, terima kasih telah menungguku. Sekarang akhirnya kita bisa bersama setelah 50 tahun berlalu.”
“Fardhan, mengapa kamu baru datang sekarang? Aku sangat merindukanmu,” ucapku dengan mata berbinar.
“Aku juga sangat  merindukanmu, tapi sekarang aku baru bisa menemuimu, Tri. Sekarang ikutlah denganku.”
* * *
Kunang–kunang, bahkan di ulang tahunku ini aku bisa melihat kunang-kunang lagi. Begitu indah, sama seperti saat aku melihatnya dulu.
“Nek, bangun Nek…Nek,” panggil Rita.
Rita berusaha menguncang-guncangkan tubuhku, tapi aku tahu semua itu sia-sia karena sekarang Fardhan telah menjemputku untuk selamanya.
“Nek…Nekkkkkkkkkkk!” jerit Rita.
Aku mendengar jerit tangisnya. Maafkan aku Cucuku, sekarang Nenek harus pergi, karena dia telah menjemput Nenek. Harapan Nenek selama 50 tahun untuk menunggunya tidaklah sia-sia. Selamat tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar