Senin, 30 Januari 2012

Masih adakah pelangi untukku

Aku hanyalah seorang wanita yang rapuh dan berusaha tegar. Tapi apa daya bagaimanapun aku hanyalah wanita yang butuh kasih sayang, dan bukan untuk disakiti. Dari awal memang aku yang salah. Aku menikahi seseorang karena rasa kasihan. Aku benar benar menyesal. Tak ada kebahagiaan yang aku dapatkan, hanya tangis dan rasa sakit.
“Kamu cinta sama aku gak?” tanya Joan, suamiku.
“Gak sama sekali, aku cuma kasihan sama kamu,” seruku. Hatiku kacau, aku lelah.
“Kamu tahu tidak, aku tidak betah satu rumah dengan orang yang tidak punya hati seperti kamu, aku menyesal menikah sama kamu.”
“Aku capek, aku berusaha membuat kamu bahagia tapi apa? Kamu tidak pernah bisa mengerti aku,” tangisku meledak, aku tidak tahu lagi seberapa sering air mataku jatuh.
“Kalau kamu mau maksa mengajak cerai pun aku tidak akan menceraikan kamu,” suara angkuh suamiku.
“Kamu mau lihat aku kembali seperti dulu lagi?” ancam suamiku.
Dasar orang tidak pernah mau kalah. Aku pun diam, dia memang selalu mengunakan ancaman itu saat kita cekcok seperti ini. Dia selalu memanfaatkan rasa tidak tegaku.
Aku pun berlalu dengan hati yang remuk. Mungkin tak berbentuk lagi. Aku lelah dan aku pun terlelap dengan air mata menetes di pipiku.
* * * *
“Kamu gak boleh kemana mana!” seru Joan tak suka.
“Kenapa aku selalu tidak diberi waktu untuk melakukan aktivitas di kampus?” tanyaku lembut. Aku tahu jika aku ngotot juga pasti ujung-ujungnya ribut. Tapi bicara dengan satu orang ini, sehalus apapun pasti jadinya bertengkar.
“I just need a reason. Orang yang melarang pasti ada alasannya kan? Apa ada alasan?”
“TIDAK SUKA.”
“Aku capek bicara sama orang seperti kamu.”
Aku berlalu. Dia hanya diam menatapku. Aku terduduk dan mendekap lututku. Ya Rob, apakah hari-hariku akan penuh dengan air mata? Hambamu ini tak kuasa menahan kesabaran. Hati ini terlalu sakit sampai mati rasa. Air mata ku membasahi pipiku. Sepuang dari kampus aku mampir kerumah mamaku. Aku langsung memeluk erat tubuh mamaku.
“Ma, Dina gak sanggup lagi, Dina capek sama kelakuan Joan,” kataku terbata. Mama mengelus rambutku .
“Sayang, kamu tahu kan seorang istri harus patuh sama suami, tapi kalau kamu sudah menjalankan kewajibanmu dan suamimu tidak bisa menghargai kamu, kamu sebagai istri kalau suami ada salah juga harus diingatkan. Kamu berhak marah ke suamimu, tapi jangan pernah mengucapkan kata kasar untuk melawah kata.kata kasar dia.”
“Ma, tapi apakah dia tidak pernah memikirkan perasaan Dina? Dulu waktu Dina diterima sebagai dosen dia gak setuju, tapi Dina menagih janji dia. Permintaan Dina sebagai syarat saat pertama kita memutuskan untuk menikah asal dina tetap diijinkan mengajar, tapi apa?? Dia tidak konsisten dengan ucapannya. Dina capek harus ngertiin dia, semua yang dia inginkan sudah Dina penuhin. Dari Dina yang gak pernah boleh keluar saat ada acara kampus, menolak tawaran beasiswa S2 Dina, apa semua itu gak cukup muasin dia? Kalau memang benar Dina adalah tulang rusuk dia, gak mungkin dia tega menyakiti Dina.”
Aku tidak dapat menahan emosiku lagi, tangisku meledak. Mama memeluk aku erat tak ada sepatah kata pun yang bisa Mama katakan. Mama hanya memeluk erat tubuhku. Aku selalu nyaman di peluknya.
“Kadang Allah mengirim seseorang yang salah sebelum memberikan belahan jiwa kamu. Dia menguji seberapa tegarnya kamu menjalani cobaan dariNYA sehingga kamu bisa dianggap pantas untuk mendapatkan kebahagiaan,” suara lembut Mama.
* * * *
Aku masih termenung menatap air hujan yang jatuh rintik-rintik. Aku begitu suka dengan hujan. Aku tak tahu apa karena saat hujan aku bisa menangis sepuasnya serentak dengan air yang dikirim oleh Allah ke bumi.
Hujan mulai reda, sang mentari mulai mengusir awan mendung. Dan aku terkesima saat sebuah lengkungan berwarna warni melengkung di langit. Setelah hujan reda akan datang sang mentari kemudian mentari akan membiaskan sisa hujan dan terpantul menjadi pelangi seketika. Aku terpekur, aku bimbang, dan aku bertanya, “ Masih adakah pelangi untukku?”
Aku berharap masih ada kebahagiaan untukku. Tapi mungkin bukan dengan orang itu.
* * * *
Hujan masih setia mengguyur kotaku. Aku terduduk di pojok kamarku, menatap setiap tetesnya. Suamiku masuk, aku menghapus air mata yang mengenang di sudut mataku. Wajahnya sudah sangat kusut, entah karena apa.
“Buatin aku mie,” serunya.
Aku beranjak dari tempat dudukku, menuju ke dapur. Mie sudah terhidang di depan dia. Dahinya berkerut.
“Kenapa masak mie sampai matang begini?”
“Hah, yang namanya mie memang begitu kan yah?” jawabku.
“Tapi ini terlalu matang, aku tidak mau makan,” seru suamiku.
Aku pun membuatkannya lagi tapi apa kata dia?
“Masak mie aja tidak becus,” seraya meninggalkan aku. Aku terpaku menahan tangis yang sudah siap jatuh. Dan aku semakin terpuruk dalam kesedihanku.
* * * *
Riak air danau bergerak gerak senada dengan angin yang berhembus lembut, mengusik daun-daun Akasia, menyapu lembut wajahku dan memainkan rambutku. Aku duduk sendiri di tepian danau menanti datangnya pelangi. Karena hujan baru saja reda dari tengah danau muncul lengkungan berwarna-warni yang sedari tadi aku tunggu. Aku begitu menikmatinya seraya ku berucap, “Tuhan, beri satu pelangi untukku,” karena aku percaya selalu ada pelangi setelah hujan badai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar