Senin, 30 Januari 2012

Valentine terakhir

Wajahku memang tidaklah cantik, dan kulitku juga tak berwarna cerah. Jadi jangan kamu bayangkan aku seperti seorang Luna Maya atau Asmirandah, karena aku jauh dari mereka. Aku hanya seorang gadis kurus yang jerawatan, dengan kaca mata tebal yang melekat di hidungku, yang orang bilang pesek.
Tapi setidaknya aku punya hati yang tulus, hati yang rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Untuk kebahagiaanmu terutama, Farel Valentino.
Mungkin aku tak pernah pantas menyukai kamu. Kamu terlalu tampan dan sempurna untuk seorang gadis seperti aku. Tapi ijinkanlah aku melanjutkan persahabatan yang telah kita bina sejak kita masih bersama-sama bermain di halaman belakang rumah kita.
Ingatkah kau saat mengatakan, kelak ingin jadi pacarku, Rel? Hhhh… tak apa aku bisa menerima ingkarmu kok, sebab aku tak tumbuh menjadi seorang gadis secantik bidadari impianmu. Tapi Rel, perasaanku tetaplah sama, dan tak pernah berubah. Aku mencintai kamu, dan selamanya akan terus begitu. Sayangnya, kamu harus tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan mempesona, sehingga aku harus rela kehilangan sosokmu yang begitu erat hadir dalam mimpi dan hidupku.
Kutarik nafasku panjang, saat kembali kulihat dari jendela kamarku. Kamu keluar dari mobil seraya memeluk pinggang seorang gadis cantik, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Entah gadis yang ke berapa, aku tak ingat, yang jelas sudah begitu banyak gadis cantik yang singgah di hidupmu.
Hhhh… Kadang aku berharap, kamu tak pernah berubah, Rel, tetap seperti dulu, dengan pipimu yang chubby, dan bisul-bisul kecil menghiasi hidung dan dahimu, agar aku bisa terus bersamamu, menemani hari-harimu selamanya. Agar kau tak pernah berubah menjadi sosok angkuh pemuja penampilan dan playboy kelas kakap seperti ini!
Teringat saat aku datang ke rumahmu setelah selama tiga tahun kamu menuntut ilmu di kota lain. Kamu tahu Rel? Saat pertamaku kembali melihat kedatanganmu saat itu? Aku sangat bahagia, teramat sangat bahagia bahkan…. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah menolak mengenalku. Kamu bilang, tak pernah mengenal wanita yang begitu jelek seperti aku. Ya Tuhan, hanya itukah artinya persahabatan kita selama ini? Hanya sebatas wajah dan penampilankah? Kamu bahkan mengatakan dengan sedikit tawa di wajahmu, kalau aku harus mengoperasi wajahku bila ingin berteman lagi denganmu. Kamu keterlaluan sekali, Rel! Apa sih yang membuat kamu bisa berubah seperti ini? Ke mana sosokmu yang rendah hati dan ramah itu?
Aku kembali menitikkan airmataku mengenang kepahitan itu. Kepahitan yang hanya bisa kutelan dan kusimpan selamanya dalam hati.
Tak selang berapa lama, kulihat kembali dari jendela kamarku, beberapa orang pemuda berlari lalu mendobrak pintu rumahmu. Aku terkejut dan tubuhku bergetar tak karuan. Aku segera beranjak keluar, namun sepertinya aku terlambat, beberapa pemuda telah lari keluar dari rumahmu , bersama gadis cantik yang tadi ada bersamamu. Aku segera
berlari masuk ke dalam rumahmu yang tak tertutup itu. Dan kutemukan di sana…
Kamu berkelojotan sambil menutupi wajahmu, raunganmu menyayat-nyayat hatiku. Dan aku pun segera berlari mendekatimu. Ya Tuhan, tangan dan wajahmu melepuh, banyak gelembung-gelembung yang pecah dan mengelupas! Ada apa ini?!? Kamu kenapa??? Air keraskah?!? Aku panik, lalu segera saja kularikan kamu ke rumah sakit, dengan naik taxi yang kupanggil dari tepi jalanan.
Kamu tahu, Rel, apa yang aku rasakan saat melihatmu seperti itu?!? Hancur!!! Dunia seolah runtuh di atas kepalaku, andai saja aku ada bersamamu saat kejadian tadi, aku akan melindungimu, dan biarlah air keras itu, mengenai wajahku yang memang sudah tak indah ini, bukan mengenai wajahmu yang tercipta begitu sempurna?!?
***
Beberapa bulan kemudian, tepat di hari Valentine yang juga menjadi hari ulang tahunmu, aku sengaja datang ke rumahmu, kubawakan bingkisan manis berisi coklat kesukaanmu, yang kubuat spesial dengan kedua tanganku.
“Rel,” panggilku saat kulihat kamu termenung di teras halaman belakang rumahmu.
“Happy Valentine and Happy Birthday, Rel,” kataku sampil menyentuh bahumu, namun tak ada reaksi.
Ya Tuhan, kamu telah pergi, pergi selamanya dan tak akan pernah lagi kembali.
Aku pun berteriak histeris sambil kupeluk tubuhmu erat, hingga kepalamu bersandar di bahuku. Sebuah kepala yang tak dihiasi lagi sebuah wajah yang sempurna.
Aku terus menangis dan menangis. Aku tak pernah menyangka kamu akan berbuat senekad itu? Padahal sudah berulang kali aku katakan, aku akan selalu di sisimu, aku akan selalu menemanimu, dengan atau tanpa wajah sekalipun! Semua itu aku lakukan karena aku terlalu mencintaimu. Ya, aku terlalu mencintai kamu, Rel. Kenapa kamu melakukan ini?!? Apakah aku begitu tak kau inginkan? Sampai kau lebih memilih untuk mati?!?
Lalu kutemukan selembar kertas kusut yang ada di dalam genggaman tanganmu yang penuh dengan darah yang sudah nyaris mengering. Akupun mengambil dan membacanya.
Maafkan aku, Ka, aku terpaksa melakukan ini, karena aku tak kan pernah mau jadi milikmu. Kamu tahu kenapa? Karena dokter di mana pun, tak mampu mengembalikan wajahku, jadi aku sudah tak mungkin lagi jadi Farel yang dulu kau puja, sekarang aku hanyalah seorang pemuda tak berwajah, yang selamanya akan membuatmu menyesal karena telah mencintai aku.
Ka, aku tahu kau tak cantik, tapi kau jauh lebih sempurna daripada aku, dan kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih dari aku, selamat tinggal, Ika.
Aku lupa, kalau begitu besar arti sebuah wajah untukmu, hingga kau melupakan yang lebih penting dari itu, hati…..
***
Farel mengangguk mendengar ceritaku, tentang bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat ini. Tempat di mana semua nampak putih dan berkilau. Lalu dia memelukku erat.
“Sekarang aku tahu dan percaya, bahwa hati yang tulus bisa mengalahkan segalanya. Thanks, Ka, kamu sudah bersedia menyusulku kemari untuk menemaniku selamanya, dan maafin aku, karena telah menyakiti hati kamu,” ungkapnya sambil mengembangkan senyum indahnya. Indah menurutku…
Happy Valentine Day, Rel,” balasku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar